Selasa, 28 Agustus 2007

MEMAKSIMALKAN KERJASAMA POLRI, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Direktur CCIP [Telp. 02198689721]
Panen perkara korupsi yang ditangani Tiga institusi yang memiliki kewenanganmenyidik-kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), -patut diapresiasi positif.
Bahkan, yang mungkin menggambarkan rasa keadilan, begitu mudah dan dengan powerfull kejaksaan, kepolisian, serta KPK menetapkan para pejabat pemerintah seperti gubernur, wali kota, bupati, dan pimpinan DPRD, serta anggota DPRD menjadi tersangka tindak pidana korupsi di banyak daerah.
Kini, bahkan presiden turut memberikan dukungan kuat untuk memberantas korupsi.Di antaranya,mempercepat pemberian izin untuk memeriksa pejabat pemerintah yang du duga berkorupsi.
Meski demikian,jika kita amati,ada hal yang patut dikemukakan mengenai penanganan kasus-kasus korupsi. Dalam hal ini, banyak institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi.
Karena itu, banyak kalangan yang bertanya, perkara korupsi apa saja yang menjadi kewenangan penyelidikan kejaksaan? Juga, perkara korupsi jenis apa yang menjadi kewenangan kepolisian serta perkara korupsi mana yang penyilidikannya menjadi milik KPK?
Pada suatu sisi, adanya tiga institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi tersebut patut di sambut genbira. Sebab; dengan begitu, saat ini tidak mudah lagi orang yang di duga berkorupsi bisa lolos.
Namun, pada sisi lain,banyaknya institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi bisa di anggap sebagai indikasi kerancuan tupoksi (tuga pokok dan fungsi) institusi Negara serta pemerintah.
Misalnya, apa kriteria perkara korupsi yang penyelidikannya harus dilakukan kejaksaan,kepolisian,dn KPK? Kabarnya, korupsi yang ditangani KPK adalah yang nilai kerugiannya lebih dari Rp 1 miliar.
Tetapi, kenyataannya,dugaan korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian di banyak daerah sekarang banyak yang nilai kerugiannya lebih dri Rp 1 miliar.
Kerancuan tersebut harus segera bisadi selesaikan . Khususnya, menata kembali perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi serta institusinya yang diberi kewenangan menyidik.
Jika tidak, di kemudian hari, sangat mungkin terjadi bias persepsi serta interpretasi.Misalnya, bisa saja ada laporan yan g masuk ke kejaksaan dari masyarakat mengenai dugaan korupsi.Tetapi karena tidak cukup bukti,kejaksaan tidak bisa memproses penyelidikan menjadi penyelidikan.Bahkan,kejaksaan tak bisa menetapkan orang yang diduga berkorupsi menjadi tersangka.
Namun,ketika perkara yang sam laporannya dialihkan kepolisi dan kepolisian merasa bisa mengumpulkan bukti, perkara itu bisa ditingkatkan ke proses penyelidikan ,bahkan sampai ke pengadilan.Hanya, ketika hal demikian terjadi,kesan yang muncul adalah tidak adanya kepastian penanganana perkara .
Itu belum seberapa, Masalahnya menjadi lain ketika,misalnya pelaku perkara korupsi yang di tangani kejaksaan divonis bebas oleh hakim lantaran tidak cukup bukti.
Tetapi, di kemudian hari, kepolisian merasa memiliki novum (bukti baru)pada perkara yang sama dan kemudian berakhir dengan vonis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti berkorupsi.Jika terjadi ,bukankah hal itu merutidapakan nebis in idem?Perkara yang sama tidak boleh diadili lagi karena pernah mendapatkan kepastian hukum –terdakwa bebas.

Jumat, 24 Agustus 2007

PRESTASI POLDA METRO JAYA DALAM MENANGKAP PENCULIKAN RAISYA

SELAMAT BUAT POLRI
Lima orang penculik Raisya, bocak cilik usia lima tahun yang diculik sejak tanggal 15 Agustus 2007 berhasil ditemukan di SPBU antara Lenteng Agung dan Kampung Rambutan Jakarta, Jumat ini pukul 09.00 WIB.

"Kelima tersangka yang kini masih diperiksa intensif di Polda Metro Jaya adalah YP, ANG, BH, MR dan YW. Kami berterima kasih kepada aparat polisi, wartawan dan masyarakat," ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman.

Dari kelima tersangka tersebut, YP dan ANG adalah otak penculikan. Sedangkan ketiga tersangka lain ikut membantu saja. ANG dan YP adalah alumni SMA 35. Sedangkan tiga lainnya masih duduk di bangku SMA. YW dan MR duduk di kelas tiga sedangkan BH duduk di kelas dua.

Dalam pemeriksaan, tersangka mengaku menculik Raisya untuk mendapatkan uang sebab mereka terlilit utang sekitar Rp150 juta setelah bisnis jual beli buku bangkrut. Raisya dipilih sebagai korban sebab kebetulan istri salah seorang tersangka ikut mengaji di rumah saudara Ny Nizma, ibu Raisya. Menurut Adang, penculik sempat meminta uang tebusan Rp 700 juta, kemudian menghubungi lewat SMS dan meminta lagi uang tebusan sebesar Rp1 miliar. Namun belum sempat terjadi serah terima uang kepada penculik.

Kapolda menjelaskan selama sembilan hari diculik, korban yang merupakan anak Ali Said, warga Cipinang Melayu, Jakarta Timur, sempat dibawa berputar-putar di Jakarta dan Jawa Barat, bahkan hingga Tasikmalaya. "Selama ini korban hanya sempat satu kali diinapkan di salah satu hotel di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sedangkan selebihnya hanya dibawa jalan-jalan saja," katanya. Adang mengatakan mobil yang dipakai para penculik adalah Suzuki APV warna hitam adalah sewaan yang nomornya telah dipalsukan. Ia menolak menyebutkan kronologis penangkapan, namun hanya menegaskan bahwa para tersangka ini sudah dibuntuti polisi selama berhari-hari sebelum disergap di SPBU antara Lenteng Agung dan Kampung Rambutan.

Kamis, 23 Agustus 2007

RUU KAMNAS DAN LANGKAH POLITIK

Oleh: Boni Hargens
pengajar Ilmu Politik UI,
Direktur Bidang Riset PARRHESIA Institute for Nation-State Building
Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang sudah masuk ke Komisi III DPR RI kini menuai badai. Ada kesan ini konflik antara Dephan dan TNI di satu pihak dan Polri di pihak lain. Tarik ulur soal RUU ini terkait sejumlah pasal yang mengatur soal posisi Polri di bawah salah satu departemen (Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan HAM) dan atau di bawah Kejaksaan Agung. Dulu di masa kemerdekaan, ketika Kapolri pertama Jenderal RS Soekanto dilantik Presiden Soekarno pada 29 September 1945, Polri berada di bawah Depdagri. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 1946, Polri menjadi lembaga setingkat departemen, berada langsung di bawah perdana menteri bersama kejaksaan dan kehakiman. Tetapi apakah ini persoalan historis ataukah legal-konstitusional? Kalau historis, apa hubungannya dengan upaya penegakan profesionalitas dan kemandirian Polri? Kalau konstitusional, mengapa bukan UU No 2 tahun 2002 tentang Polri saja yang dibenahi sehingga tidak perlu ada polemik seperti ini?Kini sudah terbuka, bahwa RUU Kamnas mau menempatkan otoritas politik sebagai penentu operasional pelaksanaan pertahanan dan keamanan nasional. Memang bagus bahwa perlu ada satu mekanisme koordinasi yang komprehensif antara TNI, polisi, bea cukai, imigrasi, dan instansi lain yang terkait masalah keamanan nasional. Tetapi di tengah kondisi tentara kita yang masih praetorian, bayangan buruk masa lalu yang masih jelas, apa jaminan bahwa ke depan Polri dan TNI tidak diseret ke pusaran politik praktis?Ada dua alasan penolakan reposisi Polri sebagaimana dimaksud dalam RUU Kamnas. Pertama, dengan memosisikan Polri di bawah salah satu departemen, maka besar peluang Polri akan diintervensi oleh kepentingan politik kekuasaan (baca: kepentingan pemerintah yang relevan dengan departemen yang membawahi Polri). Kedua, pada hakikatnya Polri adalah suatu institusi resmi negara yang sifatnya independen. Independensi Polri diterjemahkan melalui posisinya yang berada langsung di bawah presiden sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika reposisi sebagaimana tersurat dalam RUU Kamnas itu diimplementasikan, serentak independensi Polri hilang. Lantas, bagaimana mungkin Polri bisa menjadi mitra masyarakat yang siap-sedia melayani seluruh masyarakat tanpa dikotomi politik ataupun unsur-unsur lain yang bernuansa politis? Menyambung dua alasan mendasar di atas, ketidaksetujuan Polri terhadap materi RUU Kamnas masuk akal bila dikaitkan dengan pertarungan politik 2009. Tahun depan, 2008, pertarungan ini sudah mulai panas. Masing-masing kekuatan akan memaksimalkan potensi mengerahkan dukungan. Dalam konteks ini, reposisi TNI dan Polri di bawah departemen patut dicurigai sebagai langkah politik. KeniscayaanDengan demikian, masyarakat tidak lagi diayomi oleh kepolisian yang benar-benar independen atau tidak lagi dilindungi oleh tentara yang netral. Terkait ini semua, terjadinya kontroversi dan polemik mengenai RUU Kamnas ini merupakan keniscayaan. Apalagi ada selentingan bahwa RUU Kamnas adalah hasil pemikiran Departemen Pertahanan karena proses perumusannya tidak pernah melibatkan Polri sebagai sebuah institusi. Tim Kelompok Kerja (Pokja) Pembahasan RUU Kamnas dan Dephan jelas menolak tuduhan macam ini. Apapun itu, yang pasti perlu ada keterbukaan antara kedua kubu yang bertikai ini dalam membahas masalah keamanan nasional ini. Memang ada sebagian kalangan sipil yang tidak peduli Polri ditempatkan di mana. Polri ditempatkan di bawah Departemen Dalam Negeri atau di bawah Departemen Pertahanan atau di bawah Departemen Hukum dan HAM, atau tetap di bawah presiden, yang penting bagi rakyat adalah Polri mampu meningkatkan pelayanannya. Tentu ini yang benar, karena substansi dari perubahan undang-undang adalah peningkatan profesionalisme dan pelayanan aparatur negara, seperti Polri, bagi masyarakat. Tetapi itu tidak berarti reposisi Polri ini bukan persoalan serius yang menyangkut kepentingan masyarakat. Kalau Polri diintervensi oleh kepentingan politik, Polri otomatis tidak bisa bertindak independen.Harus dipahami secara jernih dan komprehensif bahwa salah satu persoalan kebangsaan di kekinian Indonesia, yaitu intensitas dan ekstensitas konflik (horizontal dan vertikal) dan krisis multidimensional yang besar peluang tetap eksis di masa mendatang. Maka dari itu, persoalan RUU Kamnas mesti disikapi dengan senantiasa mempertahankan kepentingan bangsa dan masyarakat sebagai yang utama. Sudah seyogianya, kepentingan nasional (national interest) diletakkan jauh di atas kepentingan subjektif pribadi, kelompok, golongan atau pun institusi. Dengan cara ini, pemerintah akan dinilai tidak memiliki kepentingan langsung, independen, dan imparsial jika kelak RUU Kamnas itu disahkan menjadi UU Kamnas. Sangat diharapkan, pemerintah bersikap bijak dalam menyikapi RUU Kamnas ini karena masyarakat melihat dan menilai setiap langkah dan tindakan yang diambil pemerintahnya. Bila perlu pemerintah mengajak masyarakat terlibat dalam menentukan sikap, dimana sebaiknya Polri ditempatkan.

KOMPOLNAS BERFUNGSI SEBAGAI PENGAWAS KINERJA POLRI

Oleh: Kompas Yogyakarta

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebaiknya difungsikan sebagai pengontrol dan pengawas kinerja kepolisian, sekaligus sebagai lembaga yang mengondisikan tumbuh kembangnya polisi sebagai penegak hukum yang mandiri, tegas, jujur, dan berwibawa. Karena itu, format kelembagaan komisi tersebut dalam Rancangan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Komisi Kepolisian Nasional Presiden Republik Indonesia, harus dibuat independen, kelembagaan maupun personalnya.
Demikian Suparman Marzuki, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jumat (22/11), pada Jumpa Pakar Pembahasan Rancangan Keppres Komisi Kepolisian Nasional di Hotel Santika, Yogyakarta.
Menurut Suparman, Keppres tentang Kompolnas cenderung lebih mengedepankan fungsi polisi sebagai aparat penegak keamanan dan ketertiban, seperti tercantum dalam Pasal 2 Rancangan Keppres Kompolnas, daripada mengedepankan fungsi polisi sebagai aparat penegak hukum. Tujuan Kompolnas juga dinilai tidak fokus, melainkan hanya merupakan perluasan dari peran penelitian dan pengembangan (Litbang) di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
”Tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri, kami kira patut dihindari oleh sebuah komisi, sebab itu bisa menimbulkan konflik kepentingan, bisa menjadi arena lobi politik, dan politik dagang sapi. Lagi pula, hal itu tumpang-tindih dengan tugas DPR,” katanya.
Suparman melanjutkan, Kompolnas yang akan dibentuk lebih tepat jika diformat sebagai bagian dari gerakan reformasi kinerja polisi. ”Sebaiknya Kompolnas difungsikan sebagai pengawas kinerja kepolisian sehingga lembaga itu dapat mengondisikan tumbuhnya polisi penegak hukum yang mandiri, tegas, jujur, dan berwibawa,” ujarnya.
Untuk keperluan itu, Kompolnas sebaiknya memiliki independensi kelembagaan, personal, dan fungsional. Kompolnas tidak boleh menjadi bagian dari negara, Polri, atau pemerintah, bahkan tidak boleh dicampuri oleh Polri atau pemerintah. Anggotanya harus diseleksi ketat,” katanya.
Brigadir Jenderal (Pol) Hari Soenanto Wakil Kepala Badan Pembinaan Hukum Polri, mengharapkan agar Kompolnas berfungsi sebagai lembaga profesional dan independen dalam menyampaikan kebijakan tentang Polri

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh: Asian Human Rights Commission

Sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. Apakah undang-undang tersebut akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. Undang-undang itu sendiri, bagaimanapun, menunjukkan beberapa permasalahahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut.

Di pengadilan-pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititikberatkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. Dalam beberapa contoh, aparat kepolisian dipandang buruk dan aktifitas kepolisian dapat saja menghadirkan ancaman daripada perlindungan.

Di negara lain, ketidakhadiran sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Di Sri Lanka, beberapa kasus diketahui bahwa para saksi dibunuh untuk menghentikan mereka bersaksi di persidangan. [2], [4] Di Filipina, kondisi serupa juga terjadi. [5] Berharap agar para saksi hadir di persidangan untuk memberikan keterangan di bawah kondisi semacam itu jelas merupakan hal yang langka.

Siapa yang dilindungi?
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang “melihat, mendengar,atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. (Pasal 1 ayat (1)) Dalam beberapa kasus, bagaimanapun, orang-orang akan lebih takut untuk melapor suatu tindak pidana. Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimdasi dan ancaman. Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan atau menyediakan bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis LSM dan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Secara khusus, seseorang yang karena “menyediakan informasi tanpa adanya itikad baik” tidak mendapatkan perlindungan (Pasal 10 ayat (3)). Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian semacam itu dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar. AHRC menyambut dimasukkannya anggota keluarga saksi dan korban ke dalam skema perlindungan saksi dari LPSK. Tetapi, sebagai tambahan, seluruh saksi yang dapat menyediakan bukti-bukti, tanpa melihat hubungan mereka dengan kasus tersebut, seharusnya juga dapat dimasukkan ke dalam undang-undang ini.

Akses untuk kebijakan perlindungan saksi
Bagi seseorang yang dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi dari LPSK, harus mendapat kepastian bahwa mereka akan diproses secara tepat waktu. LPSK diberikan waktu selama 7 hari untuk menanggapi, tetapi tidak ada ketentuan apapun yang dikeluarkan untuk mempercepat persyaratan-persyaratan tersebut dalam kasus-kasus yang sifatnya darurat, seperti pelanggaran HAM yang melibatkan pembunuhan oleh aparat militer atau personil kepolisian. Terlebih lagi, hak untuk mendapatkan asistensi medis dan rehabilitasi psikologi hanya dapat diterapkan pada korban pelanggaran HAM saja, sementara korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak termasuk untuk asistensi dan perlindungan semacam itu.

Berdasarkan Pasal 28 undang-undang tersebut, kondisi untuk perlindungan didasarkan pada pentingnya pemberian informasi oleh saksi atau korban, tingkatan ancaman, hasil asistensi medis dan analisa psikologis, dan catatan criminal saksi tersebut. Tidak disebutkan dalam undang-undang, mengenai motif di balik pengancaman, maupun indikasi apapun yang dibuat dalam hal mana aspek-aspek pendampingan akan diperlukan.

Untuk mengakhiri kebijakan perlindungan, bukti meyakinkan adanya ketidakamanan bukan syarat mutlak. Tanpa adannya bukti seperti itu, setiap petugas yang berwenang dapat saja mengakhiri perlindungan saksi yang dimohonkan oleh petugas yang sama. (Pasal 32 angka 1b)

Langkah-langkah perlindungan
Perlindungan dalam undang-undang dipahami dalam bahasa yang kabur, seperti misalnya “memberikan rasa aman“ (Pasal 1 angka 6). Hal itu, bagaimanapun, termasuk ”segala jenis ancaman yang berhubungan dengan kesaksian”. (Pasal 5 angka 1a). Ketentuan spesifik termasuk hak saksi atau korban untuk memperoleh identitas baru, relokasi, nasihat hukum, dan bantuan biaya hidup sementara, (Pasal 5 angka 1) tetapi tidak secara mutlak memerlukan relokasi ke luar negeri atau mendapatkan pekerjaan baru bagi saksi atau korban sebagaimana lazim terjadi di yurisdiksi Negara lain.

Tidak satupun ketidakjelasan yang berada dalam daftar bentuk-bentuk perlindungan diperjelas dengan penjelasan prosedural atau Petunjuk Pelaksanaan. Kenyataannya, implementasi perlindungan itu sendiri – menjadi sebuah kunci penting bagi LPSK – bahkan tidak tersentuh dalam undang-undang tersebut dan dengan demikian membuka segala macam interpretasi atasnya dan pelaksanaan yang sewenang-wenang. Sebagai perbandingan, lihat section 8 mengenai Peraturan Perlindungan Saksi Hong Kong, mengatur tentang pemberian identitas baru yang mengelaborasikan antara prosedur dengan peraturan. [6] Terlebih, pelaksanaan serupa dengan itu dari hukum Indonesia, tidak memberikan jaminan bagi para saksi dan korban.

Lebih jauh lagi, tata letak dalam ruang persidangan Indonesia yang menempatkan korban, secara simbolis, terjebak dalam posisi antara penuntut umum dan terdakwa, sambil menghadap ke arah Majelis Hakim, sedikit banyak mempengaruhi “rasa aman”-nya, dan dapat, sebagaimana dalam kasus-kasus di Negara lainnya, memberikan dampak yang layak dipertimbangkan bagi kesediaan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan. [3] Kenyataannya, dengan atau tanpa Undang-Undang Perlindungan Saksi, kebanyakan saksi tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan. Citra bersaksi di ruang persidangan cukup “menakutkan” bagi para saksi. Mereka akan berpikir dua kali apabila mereka ingin bersaksi.

Siapa yang melindungi?
Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasal 36 ayat (1) yang memberikan mandat kepada LPSK untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”. Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan LPSK, sesuai dengan kewenangannya. Di negara lainnya, instansi seperti itu, termasuk kepolisian, angkatan bersenjata, departemen tertentu seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum. Di Indonesia, indikasi semacam ini tidak jelas. Undang-undang tersebut juga menghindari untuk mengklarifikasi prosedur komunikasi dan tugas antar instansi. Oleh karena itu, birokrasi yang berkepanjangan dan masalah prosedural yang berbelit-belit hampir pasti akan dihadapi.

Tidak ada persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang bagi para anggota LPSK dalam hal pelatihan profesional. Namun, Pasal 11 ayat (3), menyatakan bahwa LPSK akan memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Jika hal tersebut membuat kepolisian terlibat dalam perlindungan sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang, keselamatan para saksi hampir pasti tidak dapat terjamin, secara khusus dimana kebanyakan pelaku dalam kasus pelanggaran HAM adalah kepolisian. Pendirian kantor cabang, di atas segalanya, tentu diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana pelanggaran HAM serius sering terjadi, seperti Aceh, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi.

Undang-undang juga tidak merujuk pada hak apapun bagi para korban atau saksi untuk memilih divisi lain di kepolisian untuk melaksanakan langkah-langkah perlindungan, begitu kepolisian ditugaskan untuk melaksanakan tugas perlindungan. Hal ini penting dalam kasus dimana petugas kepolisian di daerah biasanya menjadi pelaku pelanggaran HAM. Perlindungan saksi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent Commission against Corruption) (ICAC), sebagai contoh pelaksanaannya dilakukan oleh divisi khusus tersendiri.

Independensi
LPSK bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 13 ayat (1)), Susilo Bambang Yudhoyono. Dia memiliki kewenangan dalam seleksi untuk pertama kali dan juga penetapan anggota (Pasal 19) dan satu-satunya pejabat yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan peraturan mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota. (Pasal 25). Di bawah ketentuan tersebut, Presiden sendiri bahkan dapat memecat anggota LPSK berdasarkan wewenang diskresinya.

Mengingat Presiden diberikan kekuasaan untuk menentukan pemegang mandat LPSK, undang-undang tersebut jelas mengandung kelemahan ketika dihadapkan pada kasus dimana terjadinya konflik kepentingan dari Presiden atau pejabat senior lainnya, di bawah “perlindungannya”.

Staf
Tidak adanya political will dari pemerintah akan menyebabkan LPSK tidak berdaya sekalipun jumlah kasus yang dihadapi sedikit jumlahnya. Ketujuh anggota pimpinan LPSK memiliki tanggung jawab atas 235 juta penduduk Indonesia. Sekretaris LPSK yang diangkat oleh Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa selanjutnya harus merekrut anggota lembaga dalam jumlah yang signifikan. Undang-undang tersebut menyediakan pada setiap warga negara hak yang sama untuk permohonan perlindungan. Lebih dari ratusan kasus diharapkan dapat ditangani oleh LPSK dan setiap dari kasus-kasus tersebut memerlukan penilaian kualitatif dan menyeluruh. Hanya dalam ketentuan seperti itulah kinerja LPSK akan berjalan secara efektif. Hingga kini, ketentuan pendanaan masih belum jelas. Akibatnya, belum ada satupun anggota LPSK yang telah terpilih, dan seluruh institusi itu sendiri masih belum berdiri sepenuhnya. Minimnya persiapan selama tiga bulan terakhir menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih belum secara tulus berkomitmen untuk melaksanakan ketentuan undang-undang.

Rekomendasi
Bagaimana public dapat diberitahu mengenai akses dan ketentuan-ketentuan mengenai lembaga baru itu? Undang-undang yang telah disahkan hanya menyediakan permohonan tertulis yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga. Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent Commission against Corruption), sebagai contoh, menyediakan akses melalui telepon, email atau kontak langsung 24 hour access. Presiden memegang kekuasaan besar dalam menentukan bagaimana lembaga ini akan bekerja dan beroperasi, secara khusus dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggotanya. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mandate pengawasan lebih dalam harus diberikan kepada pemegang saham dari kalangan organisasi non-pemerintah.

Pendanaan harus dibiayai dari anggaran Negara, berdasarkan Pasal 27, sementara untuk saat ini tidak ada ketersediaan sumber daya yang disediakan bagi lembaga untuk memulai pekerjaannya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagai contoh, telah mengalami beberapa permasalahan dalam kerjanya karena mendapatkan dana yang minim dari pemerintah dan oleh karena itu belum mampu secara optimal melakukan tugas-tugasnya, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Jika LPSK menghadapi kendala yang sama, maka hal itu hanya akan menambah panjang deretan permasalahan sebuah peraturan yang tidak implementatif.

Kesimpulan
Undang-undang ini sepertinya dibuat secara khusus untuk memberantas kasus-kasus korupsi, daripada lebih untuk melengkapi lembaga dengan langkah-langkah kebijakan perlindungan untuk mengatasi kasus-kasus yang darurat sifatnya dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kasus seperti itu memerlukan perhatian yang secepatnya, terutama mengingat bahwa pelanggaran semacam itu kebanyakan dilakukan oleh aparat Negara. Dalam kasus pembunuhan di luar hukum, sebagai contoh, ancaman serius terhadap korban dan saksi, yang memerlukan intervensi sesegera mungkin; mereka tidak dapat menunggu lamanya prosedur perlindungan hingga ditetapkan dalam peraturan.

Seringkali sebuah undang-undang mengacu pada ketiadaan Peraturan Pemerintah tanpa memberikan klarifikasi mengenai ruang lingkup peraturan dalam hal kompensasi terhadap korban dan saksi atau tugas dan tanggung jawab sekretaris LPSK. Hal ini meninggalkan celah besar untuk “mengalahkan” tujuan utama pembentukan undang-undang ini, dan kenyataannya secara perlahan-lahan akan mematikan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-undang ini dengan tidak jelasnya pengaturan-pengaturan dan absennya komitmen pendanaan, tidak menghadirkan sebuah kerangka untuk institusi yang independen dan stabil yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi. Dalam kasus Indonesia, undang-undang ini tidak cukup untuk memenuhi tuntutan dari para korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya atas sebuah system peradilan yang adil di sebuah Negara yang dihantam dengan impunitas dan struktur komando yang korup dan tidak efisien di aparat kepolisian, militer dan sistem penuntutan.

Referensi
[1] Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Antikorupsi.org
[2] Pembunuhan terhadap seorang saksi di Sri Lanka – kasus Gerald Perera: UA-157-2004
[3] Perlindungan Saksi di Thailand – Laporan Khusus URL http://www.article2.org/pdf/v05n03.pdf
[4] Absennya Perlindungan Saksi di Sri Lanka: AS-143-2007, AS-147-2007
[5] Mebusuk hingga ke intinya: Pembunuhan tanpa tujuan, penghilangan dan penyiksaan di Filipina URL: http://www.article2.org/mainfile.php/0601/267/
[6] Peraturan Perlindungan Saksi Hong Kong URL: http://www.hklii.org/hk/legis/en/ord/564/
[7] Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong- Independent Commission against Corruption (ICAC) URL: http://www.icac.org.hk/eng/main/index.html
AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi mengenai isu-isu HAM di Asia. Grup yang berlokasi di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.

KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL

The Indonesian human Right Monitoring (Imparsial) melihat Komisi Kepolisian Nasional akan sangat bias pejabat pemerintah dan kepolisian dan diragukan independensinya. Menurut Al Alaf, Peneliti Imparsial, masyarakat sipil telah kecolongan dengan proses yang terjadi. "Problemnya kami meragukan independensi Komisi Kepolisian Nasional,"kata Al Alaf.Selain itu, problem mendasar lainnya, menurut Al Alaf, tidak ada kewenangan melakukan kontrol terhadap kinerja polisi oleh Komisi Kepolisian Nasional. "Mereka hanya diberi kewenangan memberikan masukan dan saran. Komisi tidak bisa melakukan kontrol karena yang menentukan benar salah adalah Majelis Kode Etik, dan ini menimbulkan impunitas polisi," kata Alaf. Harusnya, bukan Majelis Sidang internal tetapi Komisi Kepolisian Nasional yang berwenang, kalau itu mengikuti spirit awal ide pembentukan Komisi Kepolisian Nasional. Apalagi, Komisi Kepolisian dibentuk dengan dasar Undang-undang kepolisian dan keputusan presiden, "Masak DPR bisa kecolongan,"katanya.Jika postur Komisi Kepolisian Nasional seperti ini, menurut Al Alaf, tidak akan banyak berpengaruh pada hilangnya tindak indisipliner dan brutalitas polisi. "Polisi akan tetap brutal dan '86' tetap jalan," katanya.Kalau pemerintah ingin membuat Komisi yang efektif, harusnya dibuat sebagai pengontrol yang jelas dan tegas independensinya serta dengan uji kelayakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan sembilan anggota Komisi Kepolisian Nasional itu nantinya, tiga diantaranya adalah Menkopolhukam, Menkumham dan Mendagri sedang enam lainnya diseleksi oleh tim dari kepolisian sendiri. "Dan kira-kira enam itu dari purnawirawan Polisi,"katanya.Menurut anggota Komisi Bidang Kepolisian dan Hukum DPR RI, dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Agus Purnomo, meragukan kinerja Komisi Kepolisian Nasional akan baik. Diakuinya, DPR tidak dilibatkan oleh pemerintah dalam pembentukan Komisi ini. "Selama ini yang diseleksi DPR kinerjanya baik, entah kalau komisi ini karena dasarnya amanat keputusan internal mereka sendiri,"ujarnya.

INDEPENDENSI KEPOLISIAN


Saat ini institusi Kepolisian sedang ramai dipersoalkan kedudukannya. Lalu, bagaimana sebaiknya kedudukan Kepolisian dalam penyelenggaraan keamanan nasional? Saat ini institusi Kepolisian sedang ramai dipersoalkan kedudukannya. Lalu, bagaimana sebaiknya kedudukan Kepolisian dalam penyelenggaraan keamanan nasional? Inilah salah satu persoalan yang akan dibahas dalam DISKUSI PUBLIK yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional RI bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, bertempat di Hotel Millenium – Jakarta, 15 Pebruari 2007, Pukul 09.30 – 13.00 WIB.Beberapa narasumber yang akan dihadirkan dalam diskusiini antara lain:1. Jenderal Pol. Sutanto (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia).2. Djoko Susilo, (Anggota Komisi I DPR RI)3. Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. (Anggota Komisi Hukum Nasional)4. Adnan Pandu Praja, S.H., LL.M (Anggota Komisi Kepolisian Nasional).5. Komisaris Jenderal Pol. (Purn.) Drs. Ahwil Luthan, S.H., MBA., M.M. (Purnawirawan Perwira Kepolisian/Pengamat Kepolisian)Bertindak sebagai moderator Wahyu Dhyatmika, Wartawan Tempo & Anggota Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Keynote speaker, Ketua KHN Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Selain satu persoalan di atas yang akan dibahas dalam diskusi ini, masih ada beberapa permasalahan lain, yaitu1. Bagaimana sebaiknya perumusan keamanan nasional yang akan diatur dalam suatu undang-undang?2. Dalam struktur ketatanegaraan, lembaga apa sajakah yang sebaiknya mempunyai tanggung-jawab strategis penyelenggaraan keamanan nasional?3. Bagaimana sebaiknya kedudukan Kepolisian dalam penyelenggaraan keamanan nasional?4. Tepatkah jika Kepolisian berkedudukan di bawah departemen? Bagaimana dengan independensi Kepolisian dalam menegakkan hukum jika berkedudukan di bawah departemen? Diskusi ini bertujuan untuk menggali masukan lebih banyak dari pejabat pemerintah dan pejabat negara serta masyarakat di bidang hukum (aktivis lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan wartawan), mengenai penyelenggaraan keamanan nasional yang berhubungan erat dengan kedudukan Kepolisian dalam Keamanan Nasional. Diskusi Publik ini juga bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana perkembangan pembahasan RUU Keamanan Nasional sejauh berhubungan dengan Kepolisian. Selanjutnya, hasil diskusi ini diharapkan dapat dirumuskan dalam satu positioning paper untuk disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI, kepada Kepolisian Republik Indonesia, Koordinator Kementrian Keamanan Nasional, dan dapat dimanfaatkan pula dalam proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat RI, dan lembaga lain yang terkait.Untuk itu, Komisi Hukum Nasional mengundang berbagai pihak untuk hadir dalam diskusi ini tanpa dipungut biaya.

Rabu, 22 Agustus 2007

KEBIJAKAN REVITALISASI PENDIDIKAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA

Oleh: Soekartawi
Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional
Pentingnya pendidikan bagi Indonesia, tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dimana pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945); dan pendidikan merupakan hak asasi manusia dan hak setiap warga negara (Pasal 12). Oleh karenanya negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari Anggapan Pembangunan dan Belanja Negara. Juga dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan, dituliskan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, namun masalah besar pendidikan di Indonesia dewasa ini masih terlihat di tiga hal yaitu masalah yang berkaitan dengan (a). peningkatan dan perluasan akses pendidikan, (b). peningkatan kualitas, relevansi dan rendahnya daya saing pendidikan, dan (c). Penguatan manajemen, akuntabilitas kinerja dan citra publik.Beberapa strategi untuk mencapai kemampuan berkompetisi yang telah dibahas di makalah ini adalah (a). Meningkatkan program yang berkualitas dan mempunyai relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja (Enhanced Program Excellence and Relevance), (b). Meningkatkan efisiensi dan kualitas manajemen (Enhanced Efficiency and Quality Management), (c). Menjamin kelangsungan tersedianya anggaran (Ensured Financial Viability), (d). Meningkatkan kerjasama (Strengthen Networking), dan (e). Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan (Increased Access to Market the Programs and Output).
PendahuluanKalau kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah pendidikan, pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut prihatin. Indeks pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia berada di urutan 6 dan indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di ranking 5 dari 10 negara ASEAN. Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang dipakai, itulah penilaian lembaga internasional ternama seperti United Nations Development Program (UNDP). Saya berharap data ini dapat dipakai untuk memacu pembangunan pendidikan pada masa mendatang.Salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tiga macam indeks pengukuran di atas adalah dengan memajukan pendidikan. Banyak ahli berpendapat bahwa variabel pendidikan inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai pemicu (trigger) dalam menggerakkan pembangunan suatu bangsa. Instrumen kebijakan yang dapat ditawarkan untuk memicu pembangunan pendidikan, dengan tanpa berangkat dari nol, adalah dengan cara melakukan ‘revitalisasi sumber daya pendidikan’. Revitallisasi pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, memberi makna bahwa peran pendidikan itu diyakini sangat penting dan strategis, namun karena pengelolaan sumber dayanya tidak atau kurang baik, maka keunggulan kompetitif pendidikan di Indonesia menjadi rendah. Karena itu solusinya adalah bagaimana melakukan revitalisasi sumber daya pendidikan tersebut agar kemampuan kompetisi (competitiveness) menjadi tinggi.Untuk mengetahui sampai seberapa besar tingkat kompetisi pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN, maka berikut ini disajikan secara singkat beberapa indikator pembangunan sumber daya manusia (yang erat kaitannya dengan kualitas pendidikan) dan pembangunan di sektor pendidikan.
1. Pembangunan SDM dan Pendidikan di IndonesiaAda tiga sumber data yang dipakai untuk menjelaskan kemajuan pembangunan manusia dan di sektor pendidikan, yaitu data yang bersumber dari United Nations Development Program (UNDP, 2004) yang membandingkan kemajuan pendidikan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya; data evaluasi pendidikan Indonesia dari BPS, Bappenas, UNDP (2004), dan data dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) Departemen Pendidikan.
a. Human Development Index (HDI)Human Development Index (HDI) adalah parameter yang menunjukkan tingkatan ‘kualitas’ sumber daya manusia yang cara perhitungannya bukan saja menggunakan variabel pendidikan, tetapi juga variabel ekonomi dan kesehatan. Data di bidang pendidikan yang digunakan juga sebagian saja dari sekian banyak data pendidikan yang tersedia. Data pendidikan yang digunakan untuk menghitung HDI adalah data melek huruf orang dewasa (usia >15 th) dan data Gross enrolment ratio (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Pertama dan Atas, dan Perguruan Tinggi). Begitu juga variabel kesehatan, hanya dipakai data usia harapan hidup (life expectancy); sedangkan untuk variabel ekonomi, datanya hanya diambil angka Gross Domestik Product (GDP) per kapita. Kemudian dari tiga variabel tersebut dihitung HDI. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah seperti yang disajikan di Tabel 1. Data yang disajikan di tabel 1 terdiri dari tujuh variabel usia harapan hidup, melek huruf dewasa (usia >15 th), Gross enrolment ratio (SD,SM,PT), GDP/kapita, Indeks usia harapan hidup, Indeks pendidikan dan Indeks GDP. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah 0,692. Walaupun angka HDI ini kelihatan rendah (dibandingkan dengan ASEAN, Tabel 2), namun untuk setiap tahunnya angka HDI Indonesia mengalami kenaikan yang meyakinkan.
Kalau data Human Development Index (HDI) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maka Indonesia menempati urutan (ranking) keenam setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (Tabel 2). Walaupun ukuran yang ditetapkan oleh UNDP ini memperoleh banyak kritik dari berbagai pihak, namun karena kurang atau tidak ada lembaga lain yang melakukan pengukuran HDI, maka hasil HDI yang dihasilkan oleh UNDP ini banyak dipergunakan oleh para ahli, baik para ahli Indonesia maupun ahli asing. Juga angka HDI karya UNDP ini justru banyak dipakai sebagai landasan membuat keputusan untuk menjelaskan dan membanding kemajuan pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia, dari suatu negara.

Walaupun variabel yang dipakai untuk mengukur Human Development Index (HDI) ini banyak memperoleh kritikan, namun hasil akhir dari angka-angka HDI di negara-negara ASEAN adalah cukup realistik. Penempatan angka HDI untuk Indonesia di urutan 6 adalah logis karena ‘kemajuan’ Indonesia dibandingkan dengan enam negara lainnya memang di sekitar enam tersebut, setelah Brunei Darussalam, Singapore, Malaysia dan Thailand.Juga walaupun angka HDI Indonesia berada di urutan ke-6 di ASEAN, namun kalau dilihat dari perkembangannya sejak tahun 1975 adalah mengalami kenaikan yang signifikan. Kalau tahun 1975 angka HDI sebesar 0,47, maka pada tahun 2002, angka HDI Indonesia sebesar 6,9% per tahun.
b. Indeks PendidikanData yang dipakai untuk mengukur indeks pendidikan juga terbatas pada data melek huruf dan gross enrolment ratio dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi (SD, SM dan PT). Terlepas dari setuju atau tidak dengan cara yang dipakai oleh UNDP tersebut, maka terlihat di Tabel 3 bahwa indeks pendidikan Indonesia berada di bawah Vietnam, yaitu di urutan 7, sementara Vietnam berada di urutan 6.

2. Upaya yang Telah dan Akan DilakukanBerbagai upaya memang telah dilakukan untuk membangun manusia Indonesia dan membangun sektor pendidikan di Indonesia. Bahkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang ‘Pendidikan’, menjelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, Bab VIII Pasal 33 tentang ‘Sumber Daya Pendidikan’ dituliskan bahwa pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan/atau keluarga peserta didik. Selanjutnya menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa pengelolaan perguruan tinggi (satuan pendidikan tinggi) dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akutabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan (Bab XIV, Pasal 51). Ini artinya perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa mempersiapkan dirinya untuk tetap berkualitas seperti yang diharapkan dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya guna tetap menjaga agar perguruan tinggi tersebut tetap mempunyai akuntabilitas yang handal.Pemerintah kini terus meningkatkan pembangunan pendidikan di Indonesia. Prioritas pertama yang dikerjakan adalah menetapkan dan melaksanakan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Karena itulah pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan dan memperbaiki sistem pendidikan untuk : (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Prof Satryo S. Brodjonegoro (2004), Dirjen Dikti Depdiknas, dalam artikelnya berjudul ‘Higher Education Reform in Indonesia’ menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia telah dirumuskan dan dilaksanakan melalui kebijakan baru yang dinamakan lima pilar pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu: (a). Mendorong penyelenggara pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, (b). Memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi, (c). Meminta kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk memperhatikan aspek akuntabilitas, (d). Melaksanakan akreditasi kepada semua penyelenggara pendidikan tinggi, dan (e). Melakukan evaluasi secara rutin agar penyelenggaraan pendidikan berjalan seperti yang diharapkan.Untuk lancarnya pelaksanaan ke lima pilar tersebut, maka pemerintah melaksanakan strategi yang dianggap cukup baik dalam pengelolaan sumber daya pendidikan yang efisien di Perguruan Tinggi (khususnya dalam hal pendanaan) adalah menggunakan cara yang dikenal dengan nama Planning, Programming and Budgeting System (PPBS) atau lebih dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pendidikan atau disingkat dengan nama SP4 (Anonim, 2004). PPBS ini telah banyak dicoba dan dipraktekkan di berbagai Perguruan Tinggi di luar negeri dan hasilnya cukup menggembirakan.
3. Masalah Besar Pendidikan Indonesia yang Harus DiresponMasalah besar pendidikan di Indonesia seperti dituliskan di atas adalah bagaimana (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Ketimpangan pemerataan pendidikan bukan saja terjadi di antar wilayah Indonesia kawasan barat dan timur, atau di Jawa dan luar Jawa, tetapi juga terjadi di kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan pemerataan juga terjadi di antar tingkat pendapatan penduduk dan bahkan juga terjadi di antar gender. Sedangkan kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Menurut dokumen Propenas tahun 2000-2004, dituliskan bahwa berdasarkan hasil studi International Education Achievement diketahui bahwa kemampuan membaca murid Sekolah Dasar Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara itu kemampuan Matematika murid Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) berada di urutan ke-39 dari 42 negara yang diteliti, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam, murid SLTP di Indonesia berada di urutan 40 dari 42 negara yang diteliti. Sementara itu lemahnya manajemen pendidikan lebih banyak disebabkan oleh kebijakan bidang pendidikan masa lalu dimana manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih banyak yang bersifat sentralistik, sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan sentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan yang cenderung sentralistik ini juga menciptakan adanya kebijakan yang seragam untuk seluruh Indonesia, padahal kebijakan yang demikian hampir dapat dipastikan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman dan kepentingan di daerah, di sekolah, dan bahkan di masing-masing peserta didik. Kebijakan yang sentralistik juga cenderung dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan ketidak-efisienan pengelolaan sumber daya pendidikan.Bahkan laporan dari ’World Competitiveness Yearbook’ menempatkan kemampuan pendidikan di Indonesia untuk berkompetisi terus menurun. Pada tahun 1977 saat awal masa krisis ekonomi, urutan atau ranking pendidikan di Indonesia berada di urutan 39 kemudian pada tahun 1999 urutan tersebut menurun menjadi urutan 46 dari 47 negara. Pada tahun 2002 ranking kemampuan berkompetisi dari pendidikan di Indonesia menurun lagi ke urutan 47 dari 49 negara yang ada di daftar buku tersebut (Hamid, 2003). Untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional seperti yang diuraikan di atas, masing-masing penyelenggara pendidikan dituntut untuk melakukan upaya-upaya pengelolaan sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Maksudnya agar lembaga pendidikan tersebut mampu bertahan dan berkembang ke arah yang lebih maju dan seterusnya mampu bertahan dan bersaing dengan penyelenggara pendidikan yang lain yang jumlahnya yang semakin banyak dan mutunya yang semakin baik.
Menuju Perguruan Tinggi yang Mampu Berkompetisi1. Variabel Pembentuk Daya SaingVariabel pembentuk daya saing di perguruan tinggi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannya, dan
Kualitas produk lembaga pendidikan.
a. Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannyaMustahil kalau suatu lembaga ingin mempunyai daya saing yang tinggi kalau tidak mempunyai sumber daya (resources) yang memadai. Di perguruan tinggi, sumber daya ini dapat berupa sumber daya yang ‘dapat dilihat’ (tangible) dan yang sumber daya yang tidak dapat dilihat (in-tangible). Sumber daya yang tangible, antara lain: manusia (dosen, pegawai) dan sumber daya pendukung lainnya atau sarana dan prasarana seperti laboratorium, gedung administrasi, ruang rapat, ruang kerja dosen dan karyawan, ruang perpustakaan, ruang perkuliahan, teknologi audio dan video, komputer dan internet, dana, IPR (intellect property rights), hak monopoli dan hak exclusive licenses. Sementara itu yang in-tangible adalah sistem/program pendidikan, kurikulum, organisasi dan kepemimpinan, strong brands, serta kemampuan bekerjasama.
b. Kualitas produk lembaga pendidikanAda beberapa produk lembaga pendidikan yang dapat dipakai sebagai parameter ’kemampuan bersaing’, yaitu produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lain, produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain, dan produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lain.
1). Produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lainLembaga pendidikan tinggi yang mendapat ’exclusive licenses’ akan menghasilkan produk yang tidak dapat disangi oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain. Misalnya, Akademi Kepolisian yang lisensinya dari Markas Besar Kepolisian, Akademi ABRI atau Akabri yang lisensinya dari Markas Besar ABRI, dan masih banyak contoh yang lain.
2). Produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain Lembaga pendidikan sering banyak diminati oleh mahasiswa dan keberadaannya sangat disegani oleh pesaingnya yang disebabkan karena dipunyai parameter daya saing yang relatif sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya. Parameter daya saing yang sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya, antara lain:
Lembaga pendidikan tinggi yang sudah mempunyai ’Strong Brands’ yang kuat. Misalnya, Universitas Indonesia (UI), di samping universitas yang banyak pengalaman, juga alumninya banyak yang mejabat jabatan tinggi seperti Menteri, Dirjen, Duta Besar, dan sebagainya. Hal yang sama dengan IPB, ITB, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya pendidikan atau produk yang khas dan berbeda (distinctive). Misalnya, Universitas Pelita Harapan dan Bina Nusantara Jakarta yang distinctive-nya berada pada fasilitas teknologi informasi yang dipunyai dan yang diajarkan ke mahasiswa. Parameter yang ’distinctive’ dapat bermacam-macam dan keunggulan di parameter inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai ’trigger’ (pemicu) untuk menarik mahasiswa baru untuk memilih lembaga pendidikan tersebut. Parameter ’distinctive’ ini bisa berbentuk: (a). teknologi informasi, (b). lulusannya dibantu memperoleh pekerjaan (disalurkan penempatannya, walaupun hanya beberapa bulan sambil yang bersangkutan memperoleh pekerjaan tetap), (c). fasilitas pendidikan lainnya lengkap, (d). dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh kepemimpinan (leadership)-nya kuat, teamwork-nya juga kompak apalagi kalau lembaga pendidikan tersebut dibina atau dipimpin oleh orang yang dikenal komitmennya membangun pendidikan, mempunyai prestasi akademis yang handal, mempunyai track records pengabdian kepada masyarakat yang tinggi. Misalnya di IBI ada Dr. Kwiek Kian Gie, Universitas Mercubuana ada Probosutedjo, Universitas Pancasila ada Dr. Siswono, Universitas Indonesia Esa Unggul ada Dr. Abdul Gafur, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal reputasinya sebagai lembaga ilmiah yang dicirikan hasil penelitiannya yang banyak mempengaruhi kebijakan, banyak buku-buku yang ditulis oleh dosen, penghargaan akademis khusus yang banyak diterima, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal mempunyai networks dan partnerships yang kuat dan luas juga umumnya banyak diminati mahasiswa.
Lembaga pendidikan tinggi yang khas (unique) dan menawarkan program serta keterampilan tertentu yang tidak banyak ditawarkan oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain.
3). Produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lainBila saja lembaga pendidikan berada di posisi ini, maka dapat dipastikan akan menghadapi banyak pesaing, dan bila saja tidak ’full fight’ (bersungguh-sungguh) mengelolanya, maka bisa jadi sedikit saja atau bahkan tidak ada mahasiswa yang akan mendaftar. Selanjutnya, untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing tentu diperlukan kemampuan (capability) dalam memproduksinya. Karena itu diperlukan penetapan terhadap produk-produk apa yang diinginkan, sumber daya dan kemampuan apa yang harus disiapkan atau bahkan dimiliki. Bila suatu lembaga pendidikan sudah mempunyai kemampuan berkompetisi dengan lembaga yang lain, maka tugas lebih lanjut adalah (a). Mempertahankan kemampuan berkompetisi yang telah dimilikinya (dalam jangka waktu yang relatif lama), dan (b). Meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru lainnya.Kemampuan berkompetisi sebaiknya berjangka panjang, walaupun diakui bahwa hal ini sulit. Mengapa? Sebab lingkungan pendidikan (education environment) berubah, kebutuhan atau keinginan pengguna produk pendidikan (users) juga berubah, ekspetasi atau harapan, baik ekspetasi penyelenggara pendidikan (perguruan tinggi) maupun pengguna lulusan juga berubah. Belum lagi pengaruh globalisasi terhadap produk perguruan tinggi menyebabkan pengelolaan perguruan tinggi harus lebih profesional. Mempertahankan kemampuan berkompetisi dalam waktu yang relatif lama disebut dengan istilah ’sustainable competitive advantage’.
Sementara itu upaya untuk meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru juga perlu terus diusahakan. Karena itu kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan mengantisipasi perubahan global termasuk perubahan terhadap permintaan produk perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
Beberapa Alternatif Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing (’Competitiveness’)
1. Menetapkan ’Core Competency’ Apakah yang disebut dengan ’core competency’ dan apa relevansinya dengan peningkatan kemampuan melakukan kompetisi di perguruan tinggi? Menurut Anonymous (2005), ’core competency’ is ...the one thing that do better than its competitors. A core competency can be anything from product development to employee dedication. If a core competency yields a long term advantage to the organization, it is said to be a sustainable competitive advantage’.Menurut Hamel dan Prahalad (1990), ada tiga komponen yang mencirikan ‘core competencies’, yaitu: (a). Mempunyai potensi akses yang luas. Misalnya, lulusan perguruan tinggi diperlukan dan karenanya cepat memperoleh pekerjaan, hasil penelitiannya berbobot sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan di lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya, dan sebagainya. (b). Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan manfaat yang lebih kepada pengguna produk perguruan tinggi tersebut, dan (c). Kualitas produknya sulit untuk disaingi oleh perguruan tinggi lainnya.Berdasarkan definisi dan ciri dari ’core competencies’ tersebut, maka tiap pimpinan pendidikan tinggi dapat menentukan produk-produk apa yang dihasilkan dan mempunyai karakter seperti yang dituliskan di definisi dan ciri-ciri ’core competencies’ di atas. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memproduksi produk perguruan tinggi yang mampu berkompetisi. Misalnya, memberikan nilai tambah kepada lulusannya dengan memberikan ekstrakurikuler ketrampilan tertentu misalnya kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris atau ketrampilan lainnya. Nilai tambah yang diberikan dapat beragam tergantung dari kebutuhan, namun sudah bukan menjadi rahasia umum kalau lulusan S-1 yang baru lulus, di mana bila saja mereka tidak mempunyai nilai tambah ’kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris, dan ketrampilan tertentu, maka sulit bagi mereka untuk berkompetisi mencari pekerjaan.Untuk memperoleh kemampuan berkompetisi secara jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), maka produk perguruan tinggi dituntut untuk memenuhi dua macam produk yang dicirikan oleh hal sebagai berikut:
Kualitas produk perguruan tinggi yang tidak dapat atau sulit ditiru oleh perguruan tinggi lainnya (distinctive capability), baik yang bersifat ’tangible’ maupun ’intangible’. Sifat tangible ini misalnya mempunyai hak patent, mempunyai lisensi-lisensi tertentu, dan mempunyai hak monopoli untuk kegiatan tertentu. Sedangkan yang intangible, misalnya produk perguruan tingginya yang sudah dikenal, kepemimpinan yang efektif di perguruan tinggi yang bersangkutan, team work yang dikenal hebat, pimpinan perguruan tingginya yang dikenal cakap/berwibawa, mempunyai ’organizational culture’ yang hebat, mempunyai kerjasama, dalam dan luar negeri yang kuat, dan sebagainya.
Kualitas produk perguruan tinggi yang dapat ditiru oleh perguruan tinggi lainnya. Misalnya, kemampuan teknis dosen atau karyawan, kemampuan finansial, kemampuan promosi.
2. Evaluasi Diri untuk Penyusunan Strategi Menuju ’Competitiveness’Banyak cara atau strategi yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah melakukan evaluasi diri untuk memotret bagaimana posisi pendidikan sekarang dan bagaimana posisi itu dipakai untuk merespon lingkungan pendidikan yang ada dan yang akan datang. Tiap pimpinan perguruan mempunyai cara (styles) sendiri-sendiri karena pada hakekatnya memmimpin perguruan tinggi diperlukan ’art’ (seni) tersendiri yang satu sama lainnya berbeda. Bagaimana kualitas ’art’ pimpinan perguruan tinggi ini dalam memimpin sangat tergantung dari ’jam terbangnya’ atau pengalaman dalam memimpin. Namun satu hal yang perlu diingat dalam hal menciptakan, mempertahankan, dan membuat kemampuan berkompetisi, yaitu kejelian dalam mengantisipasi dan merespon perubahan global.
Strategi dalam merespon Era GlobalEra globalisasi sekarang ini ternyata menimbulkan apa yang disebut dengan ’hypercompetition’. Dalam artikelnya yang berjudul ’The Potential Competitive Advantage of Innovative For-Profit/Non-Profit Partnerships in Higher Education’, Profesor Goldstein (2004) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan ’hyper-competition’ adalah ’...a key feature in global era in which new costumers (users) want it quicker, cheaper, and they want it in their way…’. Dengan prinsip seperti itu, maka lambat atau cepat akan terjadi perubahan dalam organisasi lembaga pendidikan (perguruan tinggi) dalam merespon ciri ’hyper-competition’ tersebut.Beberapa saran tentang bagaimana membuat strategi dalam rangka antisipasi globalisasi, antara lain melalui kebijakan sebagai berikut:
memperkuat jaringan kerjasama (networks) yang ada,
meningkatkan dan memperkuat kerjasama (partnerships),
memperkuat kemampuan atau penguasaan terhadap teknologi informasi,
memperkuat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya melalui sinergitas berbagai kegiatan.
Dalam kaitannya dengan memperkuat networks dan partnerships, Prof. Goldstein memberikan saran tentang strategi apa yang perlu dibuat (prioritas utama) untuk mengantisipasi kompetisi tersebut, antara lain:
Memperkuat partnerships (kerjasama) baik dengan lembaga di dalam negeri maupun dengan lembaga luar. Sebab kerjasama yang kuat (syukur kalau dengan lembaga yang lebih tinggi statusnya) dalam setiap kegiatan yang mendukung proses belajar-mengajar dan penelitian, maka dampaknya akan lebih berbobot.
Memperkuat ’networks’ (jaringan) yang kuat baik dengan lembaga di dalam negeri maupun lembaga luar negeri, ’personal networks’ (khususnya dengan pembuat keputusan).
Prof. Soekartawi (1999, 2001, and team, 2000, and Flor, 2001), baik sendiri maupun bekerja secara tim, telah mengembangkan dan mengevaluasi kekuatan networking ini dalam meningkatkan kopetensi di perguruan tinggi. Pengalaman Soekartawi (2001) soal bagaimana membangun network dan mengaplikasikannya dalam SEARCA’s University Consortium seperti yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul ’Seven Ways in Successful Academic Networking’ barangkali baik untuk referensi untuk menyusun strategi meningkatkan kompetisi melalui pendekatan networks dan partnerships. Sementara itu, dalam kaitannya dengan meningkatkan penguasaan dan aplikasi teknologi informasi, telah pula dibahas oleh para ahli. Misalnya, Prof. Sweeney dan Daly (2002) dalam artikelnya yang berjudul ’The Higher Education Competitive Advantage: Accelerated Learning and Artificial Intelligence’ lebih cenderung menyarankan untuk memperkuat kemampuan teknologi informasi. Sebab saat jaman global seperti sekarang ini kebutuhan akan kemampuan menguasai dan menggunakan teknologi informasi adalah sangat besar.Selanjutnya, upaya meningkatkan competitiveness juga dapat dilakukan melalui meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara efisien dengan memperhatkan aspek ’sinergitas’. Gallon, Stillman and Coates (Anonymous, 2005) membedakan kompetensi yang harus dicapai di kegiatan bisnis dan di kegiatan akademis. Karena itu mereka mendefinisikan kompetensi di lembaga seperti perguruan tinggi, yaitu ’....core competencies are aggregates of capabilities, where synergy is created that has sustainable value and broad applicability...’. Jadi kata ‘synergy’ menjadi kata kunci yang maksudnya adalah pemanfaatan sumber daya pendidikan efisien agar hasilnya sesuai dengan diharapkan. Misalnya bagaimana ‘team building’ dibentuk agar kegiatan yang sinergi bisa diciptakan. Di sini kombinasi yang sinergis antara pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) harus saling melengkapi dan saling mendukung agar memperoleh hasil seperti yang optimal seperti yang diinginkan.Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas sebagai suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia, menyarankan bahwa dalam membangun suatu lembaga pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, tidak bisa dilakukan secara parsial, namun harus dilakukan secara komprehensif dan holistik (menyeluruh). Depdiknas dan juga lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri menerapkan konsep pembangunan pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui cara ’Planning, Programming, and Budgeting System’ (PPBS) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Penyusunan Program dan Penganggaran’ atau SP4 (Anonim, 2003). Uraian berikut ini khusus membahas PPBS atau SP4 karena bagaimanapun cara ini masih diakui oleh Depdiknas sebagai salah cara ampuh untuk meningkat kemampuan perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat dengan lembaga pendidikan yang lain.Salah satu cara yang kini dipakai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Depdiknas adalah menggunakan cara atau strategi yang dinamakan PPBS atau Planning, Programming, Budgeting System. Wikipedia (2005) mendefinisikan PPBS ....is an effect on integrating of number of techniques in a planning and budgeting process for identifying, costing and assigning a complexity of resources for establishing priorities and strategies in a major program and for forecasting costs, expenditure and achievements within the immediate financial year or over a longer period.Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Wikipedia tersebut, dikemukakan bahwa PPBS lahir tahun 1962 yang justru dipakai oleh departemen Pertahanan Amerika Serikat, pada saat Menteri Pertahannya dijabat oleh Robert McNamara. Dengan pengalaman di Departemen Pertahanan tersebut, maka teknik PPBS ini diyakini mampu untuk:
Mengidenfikasi tujuan perencanaan dalam jangka panjang berdasarkan sumberdaya yang dipunyai sekarang dan yang akan datang.
Menganalisa secara cermat terhadap manfaat dan biaya dari program atau program alternatifnya untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai.
Menjelaskan keterkaitan antara program dan anggaran yang diperlukan serta perubahan-perubahannya bila ada penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Karena itulah maka para ahli dan praktisi banyak yang menggunakan PPBS ini dan berkomentar, antara lain (Anonymous, 2005) yang mengomentari bahwa keunggulan PPBS sebagai berikut: ‘PPBS imposed financial discipline, integrated the information necessary to develop effective programs to address existing and emerging needs, and established a disciplined review and approval process’.
Langkah-Langkah Praktis Meningkatkan Daya Saing Seperti dijelaskan sebelumnya sumber daya pendidikan di perguruan tinggi meliputi sumber daya yang tangible dan in-tangible. Untuk mencapai pengelolaan sumber daya pendidikan secara efisien, maka prinsip-prinsip dari fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian kerja perlu diikuti dan dilaksanakan secara baik. Hal ini penting karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi hanya dapat tercapai secara optimal apabila ada keterpaduan dari setiap aspek fungsi manajemen tersebut. Karena itulah maka berbagai cara telah dicoba untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna pengelolaan pendidikan. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka pemikiran yang memanfaatkan sumber daya pendidikan tinggi untuk mampu berkompetisi adalah sebagai berikut:
1. Enhanced Program Excellence and Relevance Semua program yang akan dilaksanakan diusahakan sedapat-dapatnya merupakan program yang terbaik dan ada relevansinya dengan kebutuhan. Teknisnya dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:a. mendefinisikan apa programnya dan tetapkan apa parameternya,b. membuat LogFrame (Logical Framework),c. menetapkan secara jelas pengelolanya (Who you are?), dan d. menetapkan apa yang dicita-citakan (what ought to be?).
2. Enhance Efficiency and Quality ManagementPrinsip-prinsip manajerial yang efektif dan efisien serta yang berkualitas perlu dipahami oleh semua pengelola, termasuk dosen dan karyawan lembaga pendidikan tersebut. Maksudnya agar terjadi kesamaan pengertian antara apa yang dimaksudkan pimpinan adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh dosen dan karyawan.
3. Ensured Financial ViabilityAda dua hal yang perlu diperhatikan manakala membahas dana, yaitu:
Dana yang cukup dan memadai serta tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan. Pimpinan lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk mampu menggalang dana. Untuk perguruan tinggi, sumber dana dapat berasal dari: (i). SPP mahasiswa, (ii). Bantuan/partisipasi masyarakat (sumbangan sukarela), (iii). Usaha sendiri yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan melalui penelitian dan berbagai macam kerjasama, (iv). Donor dari luar negeri.
Efisiensi pemanfaatan dana. Pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk mampu melakukan efisiensi penggunaan dana tanpa harus mengurangi cita-cita (goals) yang diiinginkan. Prinsip-prinsip seperti yang ada di dokumen SP4 (Sistem Perencanaan, Penyusunan program dan Penganggaran) yang kini dianjurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, barangkali bisa dipakai sebagai acuan.
4. Networking yang kuat Dalam era global seperti sekarang ini, di samping harus mempunyai kemampuan menguasai teknologi, khususnya teknologi informasi, dan mampu mengantisipasi perubahan yang cepat, juga dituntut untuk mampu menciptakan dan meningkatkan jaringan (networks) dengan pihak lain yang mempunyai kesamaan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai. Networking ini dapat dilaksanakan dengan lembaga yang ada di dalam negeri, maupun di luar negeri. Bekerja secara tim dan kerjasama yang saling menguntungkan akan banyak manfaatnya, misalnya menciptakan inovasi baru, melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, dan sebagainya.
5. Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan Program dan produk perguruan tinggi harus dipasarkan secara luas agar dikenal oleh penggunanya. Hal ini penting karena bagaimanapun baiknya program dan produk yang ada, kalau tidak dikenal masyarakat luas sebagai penggunanya, maka program dan produk tersebut lamban dikenal. Dampaknya, perguruan tinggi tidak atau kurang mendapatkan peminat dan produknya kurang dapat dipasarkan. Berbagai cara dapat ditempuh untuk memperluas ’pasar’ dari program yang dilaksanakan dan produk yang dihasilkan, antara lain:
Banyak publikasi ilmiah yang dimuat di Jurnal, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Banyak dosen yang membawakan makalah ilmiah yang disampaikan di berbagai forum ilmiah, apakah itu seminar, pelatihan, kuliah tamu atau lainnya di tingkatan nasional maupun internasional.
Banyak buku-buku dan karya ilmiah lain yang ditulis oleh dosen.
Banyak berita-berita kegiatan perguruan tinggi yang diliput oleh berbagai mass-media, baik elektronik maupun media cetak.
Banyak dosen yang ditugaskan di berbagai lembaga lain sebagai seconded employees (tenaga pinjaman).
Banyak memproduksi buku, jurnal ilmiah, atau informasi yang lain.
Memperkuat website perguruan tinggi yang bersangkutan dengan selalu memperbaruhi isinya, dan seterusnya.

POLRI DAN RUU KEAMANAN NASIONAL

Oleh: MURADI

Polemik seputar harapan Menteri Pertahanan agar RUU Keamanan Nasional (Kamnas) untuk dapat diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 menjadi titik krusial bagi penataan kelembagaan dalam reformasi sektor keamanan. Usulan RUU Kamnas tersebut sejatinya memberikan gambaran bahwa kebijakan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara masih tambal sulam, tidak komprehensif, dan jangka panjang. Hal tersebut ditandai dengan penolakan Polri, secara kelembagaan untuk ikut terlibat dalam pembahasan. Keberadaan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antar kelembagaan. Dalam UU Pertahanan Negara, lebih banyak mengatur esensi dari tugas TNI, dengan sedikit ’bumbu’ tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri. Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 merasa sudah cukup dengan kemandirian dan profesionalisme selepas pemisahan dengan TNI, menjadikan lembaga pengelola Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) tersebut tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).
Respon negatif dari Polri dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perumusan naskah akademik alternatif RUU Kamnas, serta tidak ada reaksi yang signifikan dari BIN sesungguhnya menggambarkan bahwa usulan RUU Kamnas menjadi domain Mabes TNI, dan Departemen Pertahanan. Bahkan kesiapan TNI dalam perumusan RUU Kamnas tersebut ditandai dengan perubahan doktrin, sebagai bagian dari respon positif lembaga tersebut dengan kehadiran RUU Kamnas. Hal tersebut menegaskan bahwa secara kelembagaan, TNI jauh lebih siap dari dua pengelola keamanan lainnya, bahkan dengan Departemen Pertahanan sekalipun. Artinya perlu juga dipertegas bahwa usulan RUU Kamnas tersebut harus dilandasi pula dengan kesiapan kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Bila keberadaan Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Hukum dan Perundang-undangan sebagai institusi yang terlibat dalam proses mekanisme koordinasi kebijakan, maka kesiapan secara operasional kelembagaan Polri, TNI, dan BIN sebagai pengelola keamanan harus dalam frekuensi yang sama.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa RUU Kamnas yang diusulkan Departemen Pertahanan bersama Mabes TNI relatif masih belum mendesak bila dikaitkan dengan kesiapan lembaga-lembaga pengelola keamanan tersebut. Sebab berbagai ancaman baik dari dalam dan luar negeri masih dapat direspon oleh aktor-aktor pengelola keamanan dengan baik, walaupun miskin koordinasi, dan Alutsista serta Alkom terbatas. Meski secara kelembagaan demokrasi, keberadaan UU Kamnas merupakan prasyarat dari penataan kelembagaan sektor keamanan. Namun bila dikaitkan dengan belum rampungnya reformasi di internal TNI, Polri, dan BIN, maka keberadaan RUU Kamnas bila dipaksakan menjadi undang-undang hanya akan bernasib sama dengan UU Pertahanan Negara.
Kesiapan TNI secara kelembagaan dalam perumusan RUU Kamnas harus dihargai sebagai bagian dari respon agar keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan individu terjamin. Akan tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan satu sistem keamanan yang menyeluruh. Ada titik persinggungan peran dan fungsi dari TNI, Polri, maupun BIN satu dengan yang lainnya. Ancaman terhadap keamanan nasional berasal dari tiga jenis konflik, yakni: konflik antar negara, konflik dalam negeri, dan lintas negara. Ancaman yang datangnya dari luar negara, menjadi domain TNI, sementara keamanan dalam negeri (Kamdagri) dan terselenggaranya kepentingan umum menjadi bagian dan tugas dari Polri. Sedangkan bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia menjadi tugas dan kewajiban TNI dan juga Polri. sementara BIN ataupun lembaga intelijen terkait lainnya menyuplai data dan analisis sebagai deteksi dini berbagai ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Keberadaan UU Keamanan Nasional bila dilihat secara literatur dan praktik kenegaraan modern merupakan suatu keharusan. Dalam pengertian bahwa UU Keamanan Nasional menjadi payung bagi berbagai langkah dan antisipasi terhadap berbagai ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Irama dan koordinasi yang selaras akan memberikan suatu feedback rasa aman bagi negara dan masyarakat dari berbagai bentuk ancaman. Sebab keamanan nasional merupakan perwujudan dari keamanan menyeluruh dari suatu negara, yang menempatkan keamanan sebagai suatu konsep multidimensional yang melibatkan keseluruhan dari aktor keamanan yang mengelolanya.
Keamanan nasional dapat didefinisikan dalam dua persfektif, yakni: pertama, cakupan keamanan nasional terdiri atas pertahanan luar (external defense), keamanan dalam negeri (internal security), public order, serta penanganan bencana alam (disaster relief). Sedangkan persfektif yang kedua melihat dari sudut pandang obyek, yakni keselamatan negara, keselamatan masyarakat, dan keselamatan individu. Kedua persfektif tersebut secara substansi tidak berlawanan, namun justru saling melengkapi. Bahkan juga harus ditegaskan bahwa keamanan nasional juga harus tetap berprinsip pada tiga hal yakni: demokrasi, yakni adanya otoritas sipil, akuntabilitas dean transparan , penghargaan pada hak-hak sipil, serta penggunaan kekerasan merupakan pilihan terakhir.
Skenario dan Reposisi PolriNamun demikian perlu juga ditegaskan bahwa keberadaan RUU Kamnas yang menjadi kontroversi tersebut harus dilihat dalam tataran penataan kelembagaan dalam konteks Reformasi Sektor Keamanan, di mana TNI, Polri, serta BIN ada di dalamnya. Artinya secara kalkulatif Polri harus terlibat dalam perumusan RUU Kamnas tersebut. Sikap yang cenderung reaktif dalam penolakan sesungguhnya mencerminkan lemahnya posisi tawar Polri atas aktor-aktor keamanan lainnya, khususnya TNI. Cepat atau lambat eksistensi Polri dalam kondisi sekarang ini akan digugat oleh banyak pihak, sebab tidak mencerminkan satu mekanisme profesional dalam aliran kebijakan dan operasionalnya. Di banyak negara demokratis, posisi polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.
Hinton mensinyalir bahwa penolakan kepolisian untuk mereformasi, dalam konteks Indonesia lebih pada upaya menata koordinasi antar institusi keamanan merupakan satu permasalahan serius di negara-negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoriterianisme. Dengan kata lain, di tubuh Polri masih mengalir deras kultur dan watak birokrasi yang enggan untuk melakukan perubahan. Terlepas bahwa ada dugaan adanya agenda tersembunyi dari usulan RUU Kamnas dari Departemen Pertahanan tersebut.
Di samping itu harus disadari pula bahwa UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri masih banyak membuka cela bagi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Di sinilah sesungguhnya titik krusial mengapa Polri harus terlibat secara aktif dalam pembahasan RUU tersebut, sambil secara perlahan mengusulkan revisi beberapa pasal dalam UU Polri tersebut menyangkut tentang empat hal, yakni: Pertama anggaran Polri. di dalam UU Polri tidak secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan tentang anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Sehingga dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transparansi pemanfaatan anggaran. Sebagaimana diketahui bahwa sumber dari masyarakat tersebut berupa: Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), dan Partisipasi Masyarakat (Parmas).
Kedua, tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri, selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non-operasional. Sehingga dalam konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan bagian dari penyimpangan. Sebab kodrat polisi di belahan dunia manapun merupakan institusi pengelola keamanan, yang bersifat operasional.
Ketiga, efek dari konsep Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan untuk memberikan bantuan ataupun bentuk subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah akan terintegral dalam konektivitas kelembagaan. Dan Polri secara institusi akan mendapatkan dukungan anggaran operasional di daerah. Sebagaimana diketahui bahwa anggaran Polri tahun 2007 ini sekitar Rp. 18 trilyun tersebut hanya memenuhi sepertiga dari kebutuhan anggaran.
Keempat, revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional, dari sekedar lembaga think-thank presiden menjadi lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap kinerja Polri. Hal ini perlu ditegaskan agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat, seperti Kompolnas Philipina yang mampu membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Di samping itu, perlu ditegaskan beberapa perihal yang perlu ditindak-lanjuti perihal pembahasan RUU Kamnas, yakni: Pertama, sebelum RUU Kamnas dilegalkan menjadi undang-undang, perlu kiranya mempertegas ada jedah waktu untuk memberikan kesempatan pembenahan di internal masing-masing aktor penyelenggara keamanan. Setidaknya revisi UU Polri, dan penyelesaian pembahasan RUU Intelijen harus dipercepat. Hal ini penting agar keberadaan UU Kamnas tidak mubazir, sebagaimana UU No. 3 Tahun 2002, yang tidak bertaji, karena institusi yang diaturnya memiliki masing-masing undang-undang, yang kurang bersinergis dengan UU Pertahanan Negara tersebut.
Kedua, mengubah pola inisiatif perumusan RUU Kamnas, yakni tidak lagi hanya Departemen Pertahanan ataupun Mabes TNI, tapi juga lembaga terkait lainnya. Hal ini dilakukan agar mampu menepis asumsi di internal Polri bahwa usulan RUU Kamnas merupakan cara TNI untuk kembali mensubordinatkan Polri. bisa jadi pola inisiatif kemudian dipegang oleh lintas departemen, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, serta kalangan masyarakat sipil.
Permasalahan apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Persfektif pertama pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional saja, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbihkan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Artinya Polri harus berada di bawah satu departemen yang sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Persfektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauhmana akuntabilitas Plri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dari dua persfektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauhmana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat. Ada lima skenario reposisi Polri dalam UU Kamnas kelak, yakni: Pertama, Polri berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Skenario pertama ini secara realitas sesungguhnya sudah gugur, karena Departemen Dalam Negeri secara kelembagaan tidak siap untuk ’menyusui’ Polri. Dengan berbagai permasalahan tentang dinamika otonomi daerah, sesungguhnya menggambarkan bahwa departemen tersebut tengah merangkai bom waktu dengan adanya aktivitas Linmas dan Satpol PP yang membuat garis koordinasi dengan Polri perihal mewujudkan Kamtibmas cenderung longgar.
Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan HAM. Infrastruktur yang dimiliki oleh departemen ini relatif minim dalam hal penegakan hukum. Memindahkan Polri dengan anggota sekitar 250 ribu dengan berbagai permasalahannya akan membuat departemen tersebut kewalahan dan tidak siap.
Ketiga, Polri di bawah Kejaksanaan Agung. Langkah tersebut sama saja mengakumulasikan kerja penyidikan dan penegakan hukum dalam satu pintu. Sementara sebagaimana diketahui karakteristik kedua institusi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Cenderung akan menciptakan permasalahan baru.
Keempat, membentuk kementerian baru dengan nama Kementerian Keamanan dalam Negeri, di mana unsur Polri menjadi unsur utama, dan bekerja sama secara sistematik dengan Departemen Dalam Negeri, BIN, TNI, dan lembaga terkait lainnya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan keamanan dalam negeri. Dan terakhir, membentuk Departemen Kepolisian atau Kementerian Kepolisian. Langkah ini sebenarnya pernah dicoba pada masa Orde Lama, namun karena konsepsinya berbeda dengan esensi kepolisian demokratik, maka Polri ketika itu menjadi kepanjangan tangan dari penguasa. Namun tidak ada salahnya diujimaterikan kembali, karena kondisi yang berbeda dengan era Soekarno dulu. Di Afrika Selatan pernah terjadi pula di mana Departemen Kepolisiannya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang menerapkan Apartheid.
Dari lima kemungkinan reposisi Polri memberikan gambaran bahwa jadi atau tidak jadinya pembahasan RUU Kamnas, Polri harus mengkaji secara mendalam kemungkinan reposisi tersebut. Hal ini terkait dengan penataan kelembagaan agar Polri dalam Reformasi Sektor Keamanan, tidak lagi ketinggalan dan kebakaran jenggot, dengan akselerasi dan kemajuan ’saudara tua’ tersebut.

RUU KAMNAS DAN POLRI

Oleh: MURADI
dosen tetap Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad,
dan dosen Hubungan Internasional FISIP Unpas.
Peneliti Institute Strategic and Defense Analysis (ISDA) Universitas Pasundan.

PRO-kontra antara Kapolri dengan Menhan serta kalangan akademik dan penggiat LSM seputar RUU Kamnas membuat pembahasan RUU itu terjebak pada tarik-menarik kepentingan. Kapolri menolak pembahasan RUU Kamnas yang cenderung akan mengerdilkan Polri dan menjadi subordinat dari TNI. Kalangan akademik dan LSM melihat bahwa RUU Kamnas cenderung menguntungkan TNI dan Dephan.

Bila dikaitkan dengan inisiatif aktif dari Dephan dan Mabes TNI, hal tersebut makin kentara dengan berbagai rumusan pasal yang mempertegas TNI sebagai institusi yang superior di antara institusi yang lainnya. Meski inisiatif pembahasan RUU Kamnas sudah dilimpahkan ke Menkopolhukam, dugaan adanya agenda tersembunyi dari Dephan dan Mabes TNI belum benar-benar hilang.

Pengusulan RUU Kamnas sejatinya merupakan respons dari ketiadaan payung hukum bagi institusi pengelola keamanan. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antarkelembagaan. Undang-Undang Pertahanan Negara lebih banyak mengatur esensi tugas TNI, dengan sedikit "bumbu" tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri.

Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 kemandirian dan profesionalisme Polri dianggap cukup selepas pemisahan dengan TNI. Namun hal ini menjadikan lembaga pengelola keamanan dalam negeri itu tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus. Hal ini tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).

Respons Polri dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perumusan naskah akademik alternatif RUU Kamnas, serta tidak ada reaksi yang signifikan dari BIN sesungguhnya menggambarkan bahwa usulan RUU Kamnas menjadi domain Mabes TNI dan Dephan. Bahkan kesiapan TNI dalam perumusan RUU itu ditandai dengan perubahan doktrin. Secara kelembagaan, TNI jauh lebih siap dari dua pengelola keamanan lainnya, bahkan dengan Dephan sekalipun.

Reposisi Polri
RUU Kamnas tersebut harus dilihat dalam tataran penataan kelembagaan dalam konteks reformasi sektor keamanan, di mana TNI, Polri, serta BIN ada di dalamnya. Artinya Polri harus terlibat dalam perumusan RUU Kamnas tersebut. Sikap yang cenderung reaktif dalam penolakan mencerminkan lemahnya posisi tawar Polri atas pelaku keamanan lainnya, khususnya TNI. Cepat atau lambat eksistensi Polri ini akan digugat oleh banyak pihak, sebab di banyak negara demokratis, posisi polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.

Ada dugaan bahwa penolakan Polri merupakan satu permasalahan serius di negara-negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoriterianisme. Dengan kata lain, di tubuh Polri masih mengalir deras kultur dan watak birokrasi yang enggan berubah, terlepas dugaan adanya agenda tersembunyi dari usulan RUU Kamnas dari Dephan tersebut.

Harus disadari pula bahwa UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri masih banyak membuka celah bagi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Di sinilah sesungguhnya titik krusial mengapa Polri harus terlibat aktif dalam pembahasan RUU Kamnas tersebut, sambil secara perlahan mengusulkan revisi beberapa pasal dalam UU Polri tersebut menyangkut tentang empat hal, yakni:
Pertama, anggaran Polri. Undang-Undang Polri tidak secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah dalam akuntabilitas dan transparansi. Sebagaimana diketahui bahwa sumber dari masyarakat tersebut berupa: "Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), dan Partisipasi Masyarakat (Parmas)."
Kedua, tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan kebijakan non-operasional. Dalam konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan penyimpangan. Polisi di belahan dunia mana pun merupakan pengelola keamanan yang bersifat operasional.
Ketiga, konsep Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan untuk membantu atau menyubsidi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah akan terintegrasikan dalam konektivitas kelembagaan. Dan Polri secara institusi akan mendapatkan dukungan anggaran operasional di daerah.
Keempat, revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dari sekadar lembaga think thank presiden menjadi lembaga yang menjembatani masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap Polri, agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat, seperti Kompolnas Filipina yang mampu membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang, sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Perspektif pertama, pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbikan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Memaksakan Polri di bawah satu departemen sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena watak korporat Polri akan mengganggu pada konsolidasi departemen terkait.

Perspektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di mana pun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, untuk tetap di posisi seperti sekarang peluangnya besar, selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.

Dari dua perspektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauh mana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat. Ada lima skenario reposisi Polri dalam UU Kamnas kelak, yakni:
Pertama, Polri berada di bawah Depdagri. Skenario pertama ini sesungguhnya sudah gugur, karena Depdagri tidak siap untuk "menyusui" Polri. Dengan berbagai permasalahan tentang dinamika otonomi daerah, departemen tersebut tengah merangkai bom waktu dengan adanya aktivitas Linmas dan Satpol PP yang menyebabkan koordinasi dengan Polri cenderung longgar. Di samping itu, kepolisian kita lahir dari suasana perang, sehingga ketika terintegrasikan ke Depdagri, maka permasalahan yang kemudian muncul akan makin kompleks.

Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan HAM. Infrastruktur penegakan hukum yang dimiliki oleh departemen ini relatif minim. Memindahkan Polri dengan anggota sekitar 250 ribu orang dengan berbagai permasalahannya membuat departemen tersebut kewalahan dan tidak siap. Bahkan disinyalir, ongkos sosial untuk mengintegrasikan Polri ke departemen ini akan membengkak, karena cenderung membangun dari awal berbagai fasilitas pendukungnya.
Ketiga, Polri di bawah Kejaksaan Agung. Langkah tersebut sama saja mengakumulasikan kerja penyidikan dan penegakan hukum dalam satu pintu. Sementara sebagaimana diketahui karakteristik kedua institusi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Penggabungan ataupun mengintegrasikan Polri di Kejaksaan Agung akan menciptakan permasalahan baru, terkait pada tugas-tugas penegakan hukum dan penyidikan antara kedua institusi tersebut, khususnya pada kasus-kasus politik dan ekonomi tingkat tinggi.

Keempat, membentuk kementerian baru dengan nama Kementerian Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), di mana unsur Polri menjadi unsur utama, dan bekerja sama dengan Depdagri, BIN, TNI, dan lembaga terkait lainnya. Keberadaan kementerian baru tersebut setidaknya akan membantu tugas Menkopolhukam dalam hal koordinasi dan antisipasi berbagai permasalahan yang terkait di dalam negeri, seperti pada konflik Poso, Papua, hingga konflik komunal lainnya. Hanya saja kelemahan dari pembentukan kementerian tersebut ada pada pemosisian Polri yang cenderung akan sangat dominan, apalagi bila sudah ditegaskan adanya UU Kamdagri.

Kelima, membentuk departemen kepolisian. Langkah ini sebenarnya pernah dicoba pada masa Orde Lama, namun karena konsepsinya berbeda dengan esensi kepolisian demokratik, maka Polri ketika itu menjadi kepanjangan tangan penguasa. Namun tidak ada salahnya diujimaterikan kembali, karena kondisi yang berbeda dengan era Soekarno dulu. Di Afrika Selatan, departemen kepolisiannya merupakan kepanjangan tangan penguasa apartheid. Sesungguhnya keberadaan departemen kepolisian ataupun kementerian kepolisian merupakan solusi terbaik agar Polri tidak memiliki dua fungsi: perumusan kebijakan dan operasional. Di samping itu, ongkos sosialnya pun hampir tidak ada.

Dari lima kemungkinan reposisi Polri memberikan gambaran bahwa jadi atau tidaknya pembahasan RUU Kamnas, Polri harus mengkaji secara mendalam kemungkinan reposisi tersebut. Hal ini terkait dengan penataan kelembagaan agar Polri dalam reformasi sektor keamanan, tidak lagi ketinggalan dan kebakaran jenggot dengan akselerasi dan kemajuan "saudara tua" tersebut.***

REVITALISASI POLRI

Oleh: KASTORIUS SINAGA
Pengajar Pascasarjana UI,
Pernah Meneliti Masalah Kepolisian untuk Asian Development Bank

Di tengah gelombang reformasi, Kepolisian Negara RI adalah salah satu institusi negara yang paling kerap mendapat sorotan dan kritik tajam.

Polisi sering dicap lalai memberi perlindungan kepada masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum, bahkan dipandang sarat dengan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) akibat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktik ini ditengarai telah melembaga di tubuh Polri.

Maka, seiring dengan upaya serius Presiden RI yang kini sedang menabuh genderang perang melawan public enemy, mulai dari narkoba, korupsi, judi, penyelundupan, hingga kriminal perbankan, pertanyaan sederhana segera mencuat. Mampukah Polri merevitalisasi diri untuk berfungsi sebagai instrumen negara bagi kebangkitan Indonesia baru?

Pertanyaan reflektif ini mendorong kita untuk memahami lebih dekat proses reformasi berikut arah revitalisasi Polri yang dibutuhkan ke depan. Lebih jauh, hal ini akan berguna untuk meyakinkan kita bahwa paradigma Bring The State Back In, yang saat ini diadopsi pemerintahan SBY, benar-benar ditopang oleh sejumlah institusi pelaksana kekuasaan negara seperti Polri.

Bukan barang baru
Keberadaan Polri amat kental dan erat dengan denyut sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, keberadaan Polri terpecah di bawah dua institusi dengan fungsi utama sebagai bodyguard kekuasaan kolonial.

Setelah proklamasi, September 1945, untuk pertama kali kepolisian direformasi menjadi satu institusi bernama Lembaga Kepolisian Negara, yang berada di bawah Menteri Dalam Negeri.

Ketika fungsi utama Polri sebagai pembantu TNI melawan agresi Belanda, pada 1 Juli 1946, yang kemudian dikenal menjadi hari jadi Polri, tongkat komando Kepolisian Negara dialihkan dari Mendagri untuk langsung di bawah Perdana Menteri. Baru tahun 1961, saat UU kepolisian pertama keluar (UU No 13/1961), lembaga kepolisian diintegrasikan ke dalam institusi TNI guna mendukung operasi militer menumpas gerakan separatis daerah. Integrasi ini berlanjut sehingga memosisikan kepolisian sebagai angkatan keempat TNI selama empat dekade.

Dari sini kita belajar, reformasi kelembagaan bukanlah barang baru bagi kepolisian. Namun, reformasi yang diikuti alih tongkat komando kepolisian amat erat dengan soal penggiringan fungsi kepolisian seiring dengan lingkungan politiknya.

Oleh karena itu, independensi Polri sebagai lembaga penegak hukum merupakan area yang sensitif hingga sekarang. Tak mengherankan pada awal tahun ini masyarakat sempat heboh menanggapi usulan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang hendak mengakuisisi Polri ke dalam Dephan dalam rangka RUU Hankamneg.

Meski segera diklarifikasi, pada intinya, tiap ide yang mencoba menggiring kembali institusi kepolisian ke zona militer akan dianggap sebagai langkah mundur bagi perwujudan cita-cita rechstaat.

Revitalisasi organisasi
Sejak tahun 1999, ketika Presiden Habibie memisahkan Polri dari TNI dan langsung di bawah komando Presiden hingga kini, Polri sudah banyak diubah. Bukan saja nomenklatur kepangkatan yang diganti, tetapi juga lanskap struktur organisasi Polri di pusat berubah menjadi sama seperti departemen teknis biasa.

Hal itu antara lain dimaksudkan untuk mengurangi karakter militeristik yang begitu kental melekat di tubuh Polri. Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah Polri, lewat UU No 2/2002, prinsip-prinsip penghargaan terhadap nilai-nilai HAM diadopsi di dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum, penjaga ketertiban, keamanan, dan pengayom masyarakat.

Oleh karena itu, masalah rendahnya kinerja dan profesionalitas Polri bukan lagi berakar pada kelemahan landasan hukum, rentang kendali organisasi, atau independensi institusinya. Namun sebenarnya letak masalah terlebih pada masalah-masalah internal manajemen Polri.

Manajemen Polri boleh dikata kacau-balau bila diukur dari prinsip-prinsip organisasi modern. Ia amat sentralistik, superbirokratis, tidak transparan, dan kurang akuntabel meski di era globalisasi dan otonomi daerah sekarang ini masalah-masalah sosial, tantangan, bahkan kejahatan kian terdesentralisasi dengan pelaku bersifat lintas negara.

Gerak fungsi Polri menjadi lamban dan tidak dipandu dengan target dan strategi yang terintegrasi dengan baik dan terukur hingga ke unit paling bawah di tingkat polsek. Data menunjukkan bahwa kasus kejahatan (the most frequent crimes) melonjak tajam akibat krisis multidimensi yang melanda negara ini.

Pengelolaan secara optimal SDM Polri dalam sistem manajemen modern amat diperlukan. Ironisnya, meski reformasi Polri pada tahun 2002 telah memungkinkan jumlah perwira menengah dan tinggi melonjak drastis, tetapi mereka terkonsentrasi hanya di pusat. Data menunjukkan, dari 137 polisi dengan pangkat jenderal, 102 (75 persen) terkonsentrasi di mabes Jakarta. Sisanya tersebar ke seluruh provinsi.

New leadership
Terpilihnya Jenderal Sutanto untuk memimpin Polri menuai harapan akan revitalisasi Polri ke depan. Terlebih dengan lingkungan nasional dan global yang begitu drastis berubah, pekerjaan rumah kepolisian kian menumpuk tak sebanding dengan jumlah personel, kelengkapan, dan kualitas prasarananya.

Kita akui, revitalisasi ini bukan segampang membalik tangan. Hanya dengan figur kepemimpinan yang tegas, bersih, dan konsistenlah yang mampu meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri selaku ujung tombak penegakan hukum serta pengayom masyarakat dari segala bentuk kejahatan.

Senin, 20 Agustus 2007

BIOGRAFI RUSDIHARDJO [KAPOLRI 15]

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

Letnan Jenderal Kanjeng Pangeran Hario Rusdihardjo (lahir di Surakarta pada 7 Juli 1945) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari 4 Januari 2000 hingga 22 September 2000. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sejak tahun 2004. Ia sempat mendapat kecaman pada awal 2005 karena meminta maaf kepada pemerintah Malaysia akibat peristiwa penginjakan dan pembakaran bendera Malaysia dalam aksi unjuk rasa di depan kedubes Malaysia soal Peristiwa Ambalat.