Rabu, 22 Agustus 2007

KEBIJAKAN REVITALISASI PENDIDIKAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA

Oleh: Soekartawi
Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional
Pentingnya pendidikan bagi Indonesia, tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dimana pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945); dan pendidikan merupakan hak asasi manusia dan hak setiap warga negara (Pasal 12). Oleh karenanya negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari Anggapan Pembangunan dan Belanja Negara. Juga dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan, dituliskan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, namun masalah besar pendidikan di Indonesia dewasa ini masih terlihat di tiga hal yaitu masalah yang berkaitan dengan (a). peningkatan dan perluasan akses pendidikan, (b). peningkatan kualitas, relevansi dan rendahnya daya saing pendidikan, dan (c). Penguatan manajemen, akuntabilitas kinerja dan citra publik.Beberapa strategi untuk mencapai kemampuan berkompetisi yang telah dibahas di makalah ini adalah (a). Meningkatkan program yang berkualitas dan mempunyai relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja (Enhanced Program Excellence and Relevance), (b). Meningkatkan efisiensi dan kualitas manajemen (Enhanced Efficiency and Quality Management), (c). Menjamin kelangsungan tersedianya anggaran (Ensured Financial Viability), (d). Meningkatkan kerjasama (Strengthen Networking), dan (e). Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan (Increased Access to Market the Programs and Output).
PendahuluanKalau kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah pendidikan, pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut prihatin. Indeks pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia berada di urutan 6 dan indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di ranking 5 dari 10 negara ASEAN. Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang dipakai, itulah penilaian lembaga internasional ternama seperti United Nations Development Program (UNDP). Saya berharap data ini dapat dipakai untuk memacu pembangunan pendidikan pada masa mendatang.Salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tiga macam indeks pengukuran di atas adalah dengan memajukan pendidikan. Banyak ahli berpendapat bahwa variabel pendidikan inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai pemicu (trigger) dalam menggerakkan pembangunan suatu bangsa. Instrumen kebijakan yang dapat ditawarkan untuk memicu pembangunan pendidikan, dengan tanpa berangkat dari nol, adalah dengan cara melakukan ‘revitalisasi sumber daya pendidikan’. Revitallisasi pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, memberi makna bahwa peran pendidikan itu diyakini sangat penting dan strategis, namun karena pengelolaan sumber dayanya tidak atau kurang baik, maka keunggulan kompetitif pendidikan di Indonesia menjadi rendah. Karena itu solusinya adalah bagaimana melakukan revitalisasi sumber daya pendidikan tersebut agar kemampuan kompetisi (competitiveness) menjadi tinggi.Untuk mengetahui sampai seberapa besar tingkat kompetisi pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN, maka berikut ini disajikan secara singkat beberapa indikator pembangunan sumber daya manusia (yang erat kaitannya dengan kualitas pendidikan) dan pembangunan di sektor pendidikan.
1. Pembangunan SDM dan Pendidikan di IndonesiaAda tiga sumber data yang dipakai untuk menjelaskan kemajuan pembangunan manusia dan di sektor pendidikan, yaitu data yang bersumber dari United Nations Development Program (UNDP, 2004) yang membandingkan kemajuan pendidikan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya; data evaluasi pendidikan Indonesia dari BPS, Bappenas, UNDP (2004), dan data dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) Departemen Pendidikan.
a. Human Development Index (HDI)Human Development Index (HDI) adalah parameter yang menunjukkan tingkatan ‘kualitas’ sumber daya manusia yang cara perhitungannya bukan saja menggunakan variabel pendidikan, tetapi juga variabel ekonomi dan kesehatan. Data di bidang pendidikan yang digunakan juga sebagian saja dari sekian banyak data pendidikan yang tersedia. Data pendidikan yang digunakan untuk menghitung HDI adalah data melek huruf orang dewasa (usia >15 th) dan data Gross enrolment ratio (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Pertama dan Atas, dan Perguruan Tinggi). Begitu juga variabel kesehatan, hanya dipakai data usia harapan hidup (life expectancy); sedangkan untuk variabel ekonomi, datanya hanya diambil angka Gross Domestik Product (GDP) per kapita. Kemudian dari tiga variabel tersebut dihitung HDI. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah seperti yang disajikan di Tabel 1. Data yang disajikan di tabel 1 terdiri dari tujuh variabel usia harapan hidup, melek huruf dewasa (usia >15 th), Gross enrolment ratio (SD,SM,PT), GDP/kapita, Indeks usia harapan hidup, Indeks pendidikan dan Indeks GDP. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah 0,692. Walaupun angka HDI ini kelihatan rendah (dibandingkan dengan ASEAN, Tabel 2), namun untuk setiap tahunnya angka HDI Indonesia mengalami kenaikan yang meyakinkan.
Kalau data Human Development Index (HDI) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maka Indonesia menempati urutan (ranking) keenam setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (Tabel 2). Walaupun ukuran yang ditetapkan oleh UNDP ini memperoleh banyak kritik dari berbagai pihak, namun karena kurang atau tidak ada lembaga lain yang melakukan pengukuran HDI, maka hasil HDI yang dihasilkan oleh UNDP ini banyak dipergunakan oleh para ahli, baik para ahli Indonesia maupun ahli asing. Juga angka HDI karya UNDP ini justru banyak dipakai sebagai landasan membuat keputusan untuk menjelaskan dan membanding kemajuan pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia, dari suatu negara.

Walaupun variabel yang dipakai untuk mengukur Human Development Index (HDI) ini banyak memperoleh kritikan, namun hasil akhir dari angka-angka HDI di negara-negara ASEAN adalah cukup realistik. Penempatan angka HDI untuk Indonesia di urutan 6 adalah logis karena ‘kemajuan’ Indonesia dibandingkan dengan enam negara lainnya memang di sekitar enam tersebut, setelah Brunei Darussalam, Singapore, Malaysia dan Thailand.Juga walaupun angka HDI Indonesia berada di urutan ke-6 di ASEAN, namun kalau dilihat dari perkembangannya sejak tahun 1975 adalah mengalami kenaikan yang signifikan. Kalau tahun 1975 angka HDI sebesar 0,47, maka pada tahun 2002, angka HDI Indonesia sebesar 6,9% per tahun.
b. Indeks PendidikanData yang dipakai untuk mengukur indeks pendidikan juga terbatas pada data melek huruf dan gross enrolment ratio dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi (SD, SM dan PT). Terlepas dari setuju atau tidak dengan cara yang dipakai oleh UNDP tersebut, maka terlihat di Tabel 3 bahwa indeks pendidikan Indonesia berada di bawah Vietnam, yaitu di urutan 7, sementara Vietnam berada di urutan 6.

2. Upaya yang Telah dan Akan DilakukanBerbagai upaya memang telah dilakukan untuk membangun manusia Indonesia dan membangun sektor pendidikan di Indonesia. Bahkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang ‘Pendidikan’, menjelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, Bab VIII Pasal 33 tentang ‘Sumber Daya Pendidikan’ dituliskan bahwa pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan/atau keluarga peserta didik. Selanjutnya menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa pengelolaan perguruan tinggi (satuan pendidikan tinggi) dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akutabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan (Bab XIV, Pasal 51). Ini artinya perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa mempersiapkan dirinya untuk tetap berkualitas seperti yang diharapkan dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya guna tetap menjaga agar perguruan tinggi tersebut tetap mempunyai akuntabilitas yang handal.Pemerintah kini terus meningkatkan pembangunan pendidikan di Indonesia. Prioritas pertama yang dikerjakan adalah menetapkan dan melaksanakan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Karena itulah pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan dan memperbaiki sistem pendidikan untuk : (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Prof Satryo S. Brodjonegoro (2004), Dirjen Dikti Depdiknas, dalam artikelnya berjudul ‘Higher Education Reform in Indonesia’ menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia telah dirumuskan dan dilaksanakan melalui kebijakan baru yang dinamakan lima pilar pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu: (a). Mendorong penyelenggara pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, (b). Memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi, (c). Meminta kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk memperhatikan aspek akuntabilitas, (d). Melaksanakan akreditasi kepada semua penyelenggara pendidikan tinggi, dan (e). Melakukan evaluasi secara rutin agar penyelenggaraan pendidikan berjalan seperti yang diharapkan.Untuk lancarnya pelaksanaan ke lima pilar tersebut, maka pemerintah melaksanakan strategi yang dianggap cukup baik dalam pengelolaan sumber daya pendidikan yang efisien di Perguruan Tinggi (khususnya dalam hal pendanaan) adalah menggunakan cara yang dikenal dengan nama Planning, Programming and Budgeting System (PPBS) atau lebih dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pendidikan atau disingkat dengan nama SP4 (Anonim, 2004). PPBS ini telah banyak dicoba dan dipraktekkan di berbagai Perguruan Tinggi di luar negeri dan hasilnya cukup menggembirakan.
3. Masalah Besar Pendidikan Indonesia yang Harus DiresponMasalah besar pendidikan di Indonesia seperti dituliskan di atas adalah bagaimana (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Ketimpangan pemerataan pendidikan bukan saja terjadi di antar wilayah Indonesia kawasan barat dan timur, atau di Jawa dan luar Jawa, tetapi juga terjadi di kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan pemerataan juga terjadi di antar tingkat pendapatan penduduk dan bahkan juga terjadi di antar gender. Sedangkan kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Menurut dokumen Propenas tahun 2000-2004, dituliskan bahwa berdasarkan hasil studi International Education Achievement diketahui bahwa kemampuan membaca murid Sekolah Dasar Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara itu kemampuan Matematika murid Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) berada di urutan ke-39 dari 42 negara yang diteliti, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam, murid SLTP di Indonesia berada di urutan 40 dari 42 negara yang diteliti. Sementara itu lemahnya manajemen pendidikan lebih banyak disebabkan oleh kebijakan bidang pendidikan masa lalu dimana manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih banyak yang bersifat sentralistik, sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan sentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan yang cenderung sentralistik ini juga menciptakan adanya kebijakan yang seragam untuk seluruh Indonesia, padahal kebijakan yang demikian hampir dapat dipastikan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman dan kepentingan di daerah, di sekolah, dan bahkan di masing-masing peserta didik. Kebijakan yang sentralistik juga cenderung dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan ketidak-efisienan pengelolaan sumber daya pendidikan.Bahkan laporan dari ’World Competitiveness Yearbook’ menempatkan kemampuan pendidikan di Indonesia untuk berkompetisi terus menurun. Pada tahun 1977 saat awal masa krisis ekonomi, urutan atau ranking pendidikan di Indonesia berada di urutan 39 kemudian pada tahun 1999 urutan tersebut menurun menjadi urutan 46 dari 47 negara. Pada tahun 2002 ranking kemampuan berkompetisi dari pendidikan di Indonesia menurun lagi ke urutan 47 dari 49 negara yang ada di daftar buku tersebut (Hamid, 2003). Untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional seperti yang diuraikan di atas, masing-masing penyelenggara pendidikan dituntut untuk melakukan upaya-upaya pengelolaan sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Maksudnya agar lembaga pendidikan tersebut mampu bertahan dan berkembang ke arah yang lebih maju dan seterusnya mampu bertahan dan bersaing dengan penyelenggara pendidikan yang lain yang jumlahnya yang semakin banyak dan mutunya yang semakin baik.
Menuju Perguruan Tinggi yang Mampu Berkompetisi1. Variabel Pembentuk Daya SaingVariabel pembentuk daya saing di perguruan tinggi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannya, dan
Kualitas produk lembaga pendidikan.
a. Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannyaMustahil kalau suatu lembaga ingin mempunyai daya saing yang tinggi kalau tidak mempunyai sumber daya (resources) yang memadai. Di perguruan tinggi, sumber daya ini dapat berupa sumber daya yang ‘dapat dilihat’ (tangible) dan yang sumber daya yang tidak dapat dilihat (in-tangible). Sumber daya yang tangible, antara lain: manusia (dosen, pegawai) dan sumber daya pendukung lainnya atau sarana dan prasarana seperti laboratorium, gedung administrasi, ruang rapat, ruang kerja dosen dan karyawan, ruang perpustakaan, ruang perkuliahan, teknologi audio dan video, komputer dan internet, dana, IPR (intellect property rights), hak monopoli dan hak exclusive licenses. Sementara itu yang in-tangible adalah sistem/program pendidikan, kurikulum, organisasi dan kepemimpinan, strong brands, serta kemampuan bekerjasama.
b. Kualitas produk lembaga pendidikanAda beberapa produk lembaga pendidikan yang dapat dipakai sebagai parameter ’kemampuan bersaing’, yaitu produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lain, produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain, dan produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lain.
1). Produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lainLembaga pendidikan tinggi yang mendapat ’exclusive licenses’ akan menghasilkan produk yang tidak dapat disangi oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain. Misalnya, Akademi Kepolisian yang lisensinya dari Markas Besar Kepolisian, Akademi ABRI atau Akabri yang lisensinya dari Markas Besar ABRI, dan masih banyak contoh yang lain.
2). Produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain Lembaga pendidikan sering banyak diminati oleh mahasiswa dan keberadaannya sangat disegani oleh pesaingnya yang disebabkan karena dipunyai parameter daya saing yang relatif sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya. Parameter daya saing yang sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya, antara lain:
Lembaga pendidikan tinggi yang sudah mempunyai ’Strong Brands’ yang kuat. Misalnya, Universitas Indonesia (UI), di samping universitas yang banyak pengalaman, juga alumninya banyak yang mejabat jabatan tinggi seperti Menteri, Dirjen, Duta Besar, dan sebagainya. Hal yang sama dengan IPB, ITB, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya pendidikan atau produk yang khas dan berbeda (distinctive). Misalnya, Universitas Pelita Harapan dan Bina Nusantara Jakarta yang distinctive-nya berada pada fasilitas teknologi informasi yang dipunyai dan yang diajarkan ke mahasiswa. Parameter yang ’distinctive’ dapat bermacam-macam dan keunggulan di parameter inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai ’trigger’ (pemicu) untuk menarik mahasiswa baru untuk memilih lembaga pendidikan tersebut. Parameter ’distinctive’ ini bisa berbentuk: (a). teknologi informasi, (b). lulusannya dibantu memperoleh pekerjaan (disalurkan penempatannya, walaupun hanya beberapa bulan sambil yang bersangkutan memperoleh pekerjaan tetap), (c). fasilitas pendidikan lainnya lengkap, (d). dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh kepemimpinan (leadership)-nya kuat, teamwork-nya juga kompak apalagi kalau lembaga pendidikan tersebut dibina atau dipimpin oleh orang yang dikenal komitmennya membangun pendidikan, mempunyai prestasi akademis yang handal, mempunyai track records pengabdian kepada masyarakat yang tinggi. Misalnya di IBI ada Dr. Kwiek Kian Gie, Universitas Mercubuana ada Probosutedjo, Universitas Pancasila ada Dr. Siswono, Universitas Indonesia Esa Unggul ada Dr. Abdul Gafur, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal reputasinya sebagai lembaga ilmiah yang dicirikan hasil penelitiannya yang banyak mempengaruhi kebijakan, banyak buku-buku yang ditulis oleh dosen, penghargaan akademis khusus yang banyak diterima, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal mempunyai networks dan partnerships yang kuat dan luas juga umumnya banyak diminati mahasiswa.
Lembaga pendidikan tinggi yang khas (unique) dan menawarkan program serta keterampilan tertentu yang tidak banyak ditawarkan oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain.
3). Produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lainBila saja lembaga pendidikan berada di posisi ini, maka dapat dipastikan akan menghadapi banyak pesaing, dan bila saja tidak ’full fight’ (bersungguh-sungguh) mengelolanya, maka bisa jadi sedikit saja atau bahkan tidak ada mahasiswa yang akan mendaftar. Selanjutnya, untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing tentu diperlukan kemampuan (capability) dalam memproduksinya. Karena itu diperlukan penetapan terhadap produk-produk apa yang diinginkan, sumber daya dan kemampuan apa yang harus disiapkan atau bahkan dimiliki. Bila suatu lembaga pendidikan sudah mempunyai kemampuan berkompetisi dengan lembaga yang lain, maka tugas lebih lanjut adalah (a). Mempertahankan kemampuan berkompetisi yang telah dimilikinya (dalam jangka waktu yang relatif lama), dan (b). Meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru lainnya.Kemampuan berkompetisi sebaiknya berjangka panjang, walaupun diakui bahwa hal ini sulit. Mengapa? Sebab lingkungan pendidikan (education environment) berubah, kebutuhan atau keinginan pengguna produk pendidikan (users) juga berubah, ekspetasi atau harapan, baik ekspetasi penyelenggara pendidikan (perguruan tinggi) maupun pengguna lulusan juga berubah. Belum lagi pengaruh globalisasi terhadap produk perguruan tinggi menyebabkan pengelolaan perguruan tinggi harus lebih profesional. Mempertahankan kemampuan berkompetisi dalam waktu yang relatif lama disebut dengan istilah ’sustainable competitive advantage’.
Sementara itu upaya untuk meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru juga perlu terus diusahakan. Karena itu kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan mengantisipasi perubahan global termasuk perubahan terhadap permintaan produk perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
Beberapa Alternatif Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing (’Competitiveness’)
1. Menetapkan ’Core Competency’ Apakah yang disebut dengan ’core competency’ dan apa relevansinya dengan peningkatan kemampuan melakukan kompetisi di perguruan tinggi? Menurut Anonymous (2005), ’core competency’ is ...the one thing that do better than its competitors. A core competency can be anything from product development to employee dedication. If a core competency yields a long term advantage to the organization, it is said to be a sustainable competitive advantage’.Menurut Hamel dan Prahalad (1990), ada tiga komponen yang mencirikan ‘core competencies’, yaitu: (a). Mempunyai potensi akses yang luas. Misalnya, lulusan perguruan tinggi diperlukan dan karenanya cepat memperoleh pekerjaan, hasil penelitiannya berbobot sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan di lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya, dan sebagainya. (b). Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan manfaat yang lebih kepada pengguna produk perguruan tinggi tersebut, dan (c). Kualitas produknya sulit untuk disaingi oleh perguruan tinggi lainnya.Berdasarkan definisi dan ciri dari ’core competencies’ tersebut, maka tiap pimpinan pendidikan tinggi dapat menentukan produk-produk apa yang dihasilkan dan mempunyai karakter seperti yang dituliskan di definisi dan ciri-ciri ’core competencies’ di atas. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memproduksi produk perguruan tinggi yang mampu berkompetisi. Misalnya, memberikan nilai tambah kepada lulusannya dengan memberikan ekstrakurikuler ketrampilan tertentu misalnya kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris atau ketrampilan lainnya. Nilai tambah yang diberikan dapat beragam tergantung dari kebutuhan, namun sudah bukan menjadi rahasia umum kalau lulusan S-1 yang baru lulus, di mana bila saja mereka tidak mempunyai nilai tambah ’kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris, dan ketrampilan tertentu, maka sulit bagi mereka untuk berkompetisi mencari pekerjaan.Untuk memperoleh kemampuan berkompetisi secara jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), maka produk perguruan tinggi dituntut untuk memenuhi dua macam produk yang dicirikan oleh hal sebagai berikut:
Kualitas produk perguruan tinggi yang tidak dapat atau sulit ditiru oleh perguruan tinggi lainnya (distinctive capability), baik yang bersifat ’tangible’ maupun ’intangible’. Sifat tangible ini misalnya mempunyai hak patent, mempunyai lisensi-lisensi tertentu, dan mempunyai hak monopoli untuk kegiatan tertentu. Sedangkan yang intangible, misalnya produk perguruan tingginya yang sudah dikenal, kepemimpinan yang efektif di perguruan tinggi yang bersangkutan, team work yang dikenal hebat, pimpinan perguruan tingginya yang dikenal cakap/berwibawa, mempunyai ’organizational culture’ yang hebat, mempunyai kerjasama, dalam dan luar negeri yang kuat, dan sebagainya.
Kualitas produk perguruan tinggi yang dapat ditiru oleh perguruan tinggi lainnya. Misalnya, kemampuan teknis dosen atau karyawan, kemampuan finansial, kemampuan promosi.
2. Evaluasi Diri untuk Penyusunan Strategi Menuju ’Competitiveness’Banyak cara atau strategi yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah melakukan evaluasi diri untuk memotret bagaimana posisi pendidikan sekarang dan bagaimana posisi itu dipakai untuk merespon lingkungan pendidikan yang ada dan yang akan datang. Tiap pimpinan perguruan mempunyai cara (styles) sendiri-sendiri karena pada hakekatnya memmimpin perguruan tinggi diperlukan ’art’ (seni) tersendiri yang satu sama lainnya berbeda. Bagaimana kualitas ’art’ pimpinan perguruan tinggi ini dalam memimpin sangat tergantung dari ’jam terbangnya’ atau pengalaman dalam memimpin. Namun satu hal yang perlu diingat dalam hal menciptakan, mempertahankan, dan membuat kemampuan berkompetisi, yaitu kejelian dalam mengantisipasi dan merespon perubahan global.
Strategi dalam merespon Era GlobalEra globalisasi sekarang ini ternyata menimbulkan apa yang disebut dengan ’hypercompetition’. Dalam artikelnya yang berjudul ’The Potential Competitive Advantage of Innovative For-Profit/Non-Profit Partnerships in Higher Education’, Profesor Goldstein (2004) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan ’hyper-competition’ adalah ’...a key feature in global era in which new costumers (users) want it quicker, cheaper, and they want it in their way…’. Dengan prinsip seperti itu, maka lambat atau cepat akan terjadi perubahan dalam organisasi lembaga pendidikan (perguruan tinggi) dalam merespon ciri ’hyper-competition’ tersebut.Beberapa saran tentang bagaimana membuat strategi dalam rangka antisipasi globalisasi, antara lain melalui kebijakan sebagai berikut:
memperkuat jaringan kerjasama (networks) yang ada,
meningkatkan dan memperkuat kerjasama (partnerships),
memperkuat kemampuan atau penguasaan terhadap teknologi informasi,
memperkuat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya melalui sinergitas berbagai kegiatan.
Dalam kaitannya dengan memperkuat networks dan partnerships, Prof. Goldstein memberikan saran tentang strategi apa yang perlu dibuat (prioritas utama) untuk mengantisipasi kompetisi tersebut, antara lain:
Memperkuat partnerships (kerjasama) baik dengan lembaga di dalam negeri maupun dengan lembaga luar. Sebab kerjasama yang kuat (syukur kalau dengan lembaga yang lebih tinggi statusnya) dalam setiap kegiatan yang mendukung proses belajar-mengajar dan penelitian, maka dampaknya akan lebih berbobot.
Memperkuat ’networks’ (jaringan) yang kuat baik dengan lembaga di dalam negeri maupun lembaga luar negeri, ’personal networks’ (khususnya dengan pembuat keputusan).
Prof. Soekartawi (1999, 2001, and team, 2000, and Flor, 2001), baik sendiri maupun bekerja secara tim, telah mengembangkan dan mengevaluasi kekuatan networking ini dalam meningkatkan kopetensi di perguruan tinggi. Pengalaman Soekartawi (2001) soal bagaimana membangun network dan mengaplikasikannya dalam SEARCA’s University Consortium seperti yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul ’Seven Ways in Successful Academic Networking’ barangkali baik untuk referensi untuk menyusun strategi meningkatkan kompetisi melalui pendekatan networks dan partnerships. Sementara itu, dalam kaitannya dengan meningkatkan penguasaan dan aplikasi teknologi informasi, telah pula dibahas oleh para ahli. Misalnya, Prof. Sweeney dan Daly (2002) dalam artikelnya yang berjudul ’The Higher Education Competitive Advantage: Accelerated Learning and Artificial Intelligence’ lebih cenderung menyarankan untuk memperkuat kemampuan teknologi informasi. Sebab saat jaman global seperti sekarang ini kebutuhan akan kemampuan menguasai dan menggunakan teknologi informasi adalah sangat besar.Selanjutnya, upaya meningkatkan competitiveness juga dapat dilakukan melalui meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara efisien dengan memperhatkan aspek ’sinergitas’. Gallon, Stillman and Coates (Anonymous, 2005) membedakan kompetensi yang harus dicapai di kegiatan bisnis dan di kegiatan akademis. Karena itu mereka mendefinisikan kompetensi di lembaga seperti perguruan tinggi, yaitu ’....core competencies are aggregates of capabilities, where synergy is created that has sustainable value and broad applicability...’. Jadi kata ‘synergy’ menjadi kata kunci yang maksudnya adalah pemanfaatan sumber daya pendidikan efisien agar hasilnya sesuai dengan diharapkan. Misalnya bagaimana ‘team building’ dibentuk agar kegiatan yang sinergi bisa diciptakan. Di sini kombinasi yang sinergis antara pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) harus saling melengkapi dan saling mendukung agar memperoleh hasil seperti yang optimal seperti yang diinginkan.Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas sebagai suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia, menyarankan bahwa dalam membangun suatu lembaga pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, tidak bisa dilakukan secara parsial, namun harus dilakukan secara komprehensif dan holistik (menyeluruh). Depdiknas dan juga lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri menerapkan konsep pembangunan pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui cara ’Planning, Programming, and Budgeting System’ (PPBS) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Penyusunan Program dan Penganggaran’ atau SP4 (Anonim, 2003). Uraian berikut ini khusus membahas PPBS atau SP4 karena bagaimanapun cara ini masih diakui oleh Depdiknas sebagai salah cara ampuh untuk meningkat kemampuan perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat dengan lembaga pendidikan yang lain.Salah satu cara yang kini dipakai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Depdiknas adalah menggunakan cara atau strategi yang dinamakan PPBS atau Planning, Programming, Budgeting System. Wikipedia (2005) mendefinisikan PPBS ....is an effect on integrating of number of techniques in a planning and budgeting process for identifying, costing and assigning a complexity of resources for establishing priorities and strategies in a major program and for forecasting costs, expenditure and achievements within the immediate financial year or over a longer period.Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Wikipedia tersebut, dikemukakan bahwa PPBS lahir tahun 1962 yang justru dipakai oleh departemen Pertahanan Amerika Serikat, pada saat Menteri Pertahannya dijabat oleh Robert McNamara. Dengan pengalaman di Departemen Pertahanan tersebut, maka teknik PPBS ini diyakini mampu untuk:
Mengidenfikasi tujuan perencanaan dalam jangka panjang berdasarkan sumberdaya yang dipunyai sekarang dan yang akan datang.
Menganalisa secara cermat terhadap manfaat dan biaya dari program atau program alternatifnya untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai.
Menjelaskan keterkaitan antara program dan anggaran yang diperlukan serta perubahan-perubahannya bila ada penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Karena itulah maka para ahli dan praktisi banyak yang menggunakan PPBS ini dan berkomentar, antara lain (Anonymous, 2005) yang mengomentari bahwa keunggulan PPBS sebagai berikut: ‘PPBS imposed financial discipline, integrated the information necessary to develop effective programs to address existing and emerging needs, and established a disciplined review and approval process’.
Langkah-Langkah Praktis Meningkatkan Daya Saing Seperti dijelaskan sebelumnya sumber daya pendidikan di perguruan tinggi meliputi sumber daya yang tangible dan in-tangible. Untuk mencapai pengelolaan sumber daya pendidikan secara efisien, maka prinsip-prinsip dari fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian kerja perlu diikuti dan dilaksanakan secara baik. Hal ini penting karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi hanya dapat tercapai secara optimal apabila ada keterpaduan dari setiap aspek fungsi manajemen tersebut. Karena itulah maka berbagai cara telah dicoba untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna pengelolaan pendidikan. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka pemikiran yang memanfaatkan sumber daya pendidikan tinggi untuk mampu berkompetisi adalah sebagai berikut:
1. Enhanced Program Excellence and Relevance Semua program yang akan dilaksanakan diusahakan sedapat-dapatnya merupakan program yang terbaik dan ada relevansinya dengan kebutuhan. Teknisnya dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:a. mendefinisikan apa programnya dan tetapkan apa parameternya,b. membuat LogFrame (Logical Framework),c. menetapkan secara jelas pengelolanya (Who you are?), dan d. menetapkan apa yang dicita-citakan (what ought to be?).
2. Enhance Efficiency and Quality ManagementPrinsip-prinsip manajerial yang efektif dan efisien serta yang berkualitas perlu dipahami oleh semua pengelola, termasuk dosen dan karyawan lembaga pendidikan tersebut. Maksudnya agar terjadi kesamaan pengertian antara apa yang dimaksudkan pimpinan adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh dosen dan karyawan.
3. Ensured Financial ViabilityAda dua hal yang perlu diperhatikan manakala membahas dana, yaitu:
Dana yang cukup dan memadai serta tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan. Pimpinan lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk mampu menggalang dana. Untuk perguruan tinggi, sumber dana dapat berasal dari: (i). SPP mahasiswa, (ii). Bantuan/partisipasi masyarakat (sumbangan sukarela), (iii). Usaha sendiri yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan melalui penelitian dan berbagai macam kerjasama, (iv). Donor dari luar negeri.
Efisiensi pemanfaatan dana. Pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk mampu melakukan efisiensi penggunaan dana tanpa harus mengurangi cita-cita (goals) yang diiinginkan. Prinsip-prinsip seperti yang ada di dokumen SP4 (Sistem Perencanaan, Penyusunan program dan Penganggaran) yang kini dianjurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, barangkali bisa dipakai sebagai acuan.
4. Networking yang kuat Dalam era global seperti sekarang ini, di samping harus mempunyai kemampuan menguasai teknologi, khususnya teknologi informasi, dan mampu mengantisipasi perubahan yang cepat, juga dituntut untuk mampu menciptakan dan meningkatkan jaringan (networks) dengan pihak lain yang mempunyai kesamaan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai. Networking ini dapat dilaksanakan dengan lembaga yang ada di dalam negeri, maupun di luar negeri. Bekerja secara tim dan kerjasama yang saling menguntungkan akan banyak manfaatnya, misalnya menciptakan inovasi baru, melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, dan sebagainya.
5. Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan Program dan produk perguruan tinggi harus dipasarkan secara luas agar dikenal oleh penggunanya. Hal ini penting karena bagaimanapun baiknya program dan produk yang ada, kalau tidak dikenal masyarakat luas sebagai penggunanya, maka program dan produk tersebut lamban dikenal. Dampaknya, perguruan tinggi tidak atau kurang mendapatkan peminat dan produknya kurang dapat dipasarkan. Berbagai cara dapat ditempuh untuk memperluas ’pasar’ dari program yang dilaksanakan dan produk yang dihasilkan, antara lain:
Banyak publikasi ilmiah yang dimuat di Jurnal, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Banyak dosen yang membawakan makalah ilmiah yang disampaikan di berbagai forum ilmiah, apakah itu seminar, pelatihan, kuliah tamu atau lainnya di tingkatan nasional maupun internasional.
Banyak buku-buku dan karya ilmiah lain yang ditulis oleh dosen.
Banyak berita-berita kegiatan perguruan tinggi yang diliput oleh berbagai mass-media, baik elektronik maupun media cetak.
Banyak dosen yang ditugaskan di berbagai lembaga lain sebagai seconded employees (tenaga pinjaman).
Banyak memproduksi buku, jurnal ilmiah, atau informasi yang lain.
Memperkuat website perguruan tinggi yang bersangkutan dengan selalu memperbaruhi isinya, dan seterusnya.

Tidak ada komentar: