Rabu, 22 Agustus 2007

REVITALISASI POLRI

Oleh: KASTORIUS SINAGA
Pengajar Pascasarjana UI,
Pernah Meneliti Masalah Kepolisian untuk Asian Development Bank

Di tengah gelombang reformasi, Kepolisian Negara RI adalah salah satu institusi negara yang paling kerap mendapat sorotan dan kritik tajam.

Polisi sering dicap lalai memberi perlindungan kepada masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum, bahkan dipandang sarat dengan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) akibat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktik ini ditengarai telah melembaga di tubuh Polri.

Maka, seiring dengan upaya serius Presiden RI yang kini sedang menabuh genderang perang melawan public enemy, mulai dari narkoba, korupsi, judi, penyelundupan, hingga kriminal perbankan, pertanyaan sederhana segera mencuat. Mampukah Polri merevitalisasi diri untuk berfungsi sebagai instrumen negara bagi kebangkitan Indonesia baru?

Pertanyaan reflektif ini mendorong kita untuk memahami lebih dekat proses reformasi berikut arah revitalisasi Polri yang dibutuhkan ke depan. Lebih jauh, hal ini akan berguna untuk meyakinkan kita bahwa paradigma Bring The State Back In, yang saat ini diadopsi pemerintahan SBY, benar-benar ditopang oleh sejumlah institusi pelaksana kekuasaan negara seperti Polri.

Bukan barang baru
Keberadaan Polri amat kental dan erat dengan denyut sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, keberadaan Polri terpecah di bawah dua institusi dengan fungsi utama sebagai bodyguard kekuasaan kolonial.

Setelah proklamasi, September 1945, untuk pertama kali kepolisian direformasi menjadi satu institusi bernama Lembaga Kepolisian Negara, yang berada di bawah Menteri Dalam Negeri.

Ketika fungsi utama Polri sebagai pembantu TNI melawan agresi Belanda, pada 1 Juli 1946, yang kemudian dikenal menjadi hari jadi Polri, tongkat komando Kepolisian Negara dialihkan dari Mendagri untuk langsung di bawah Perdana Menteri. Baru tahun 1961, saat UU kepolisian pertama keluar (UU No 13/1961), lembaga kepolisian diintegrasikan ke dalam institusi TNI guna mendukung operasi militer menumpas gerakan separatis daerah. Integrasi ini berlanjut sehingga memosisikan kepolisian sebagai angkatan keempat TNI selama empat dekade.

Dari sini kita belajar, reformasi kelembagaan bukanlah barang baru bagi kepolisian. Namun, reformasi yang diikuti alih tongkat komando kepolisian amat erat dengan soal penggiringan fungsi kepolisian seiring dengan lingkungan politiknya.

Oleh karena itu, independensi Polri sebagai lembaga penegak hukum merupakan area yang sensitif hingga sekarang. Tak mengherankan pada awal tahun ini masyarakat sempat heboh menanggapi usulan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang hendak mengakuisisi Polri ke dalam Dephan dalam rangka RUU Hankamneg.

Meski segera diklarifikasi, pada intinya, tiap ide yang mencoba menggiring kembali institusi kepolisian ke zona militer akan dianggap sebagai langkah mundur bagi perwujudan cita-cita rechstaat.

Revitalisasi organisasi
Sejak tahun 1999, ketika Presiden Habibie memisahkan Polri dari TNI dan langsung di bawah komando Presiden hingga kini, Polri sudah banyak diubah. Bukan saja nomenklatur kepangkatan yang diganti, tetapi juga lanskap struktur organisasi Polri di pusat berubah menjadi sama seperti departemen teknis biasa.

Hal itu antara lain dimaksudkan untuk mengurangi karakter militeristik yang begitu kental melekat di tubuh Polri. Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah Polri, lewat UU No 2/2002, prinsip-prinsip penghargaan terhadap nilai-nilai HAM diadopsi di dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum, penjaga ketertiban, keamanan, dan pengayom masyarakat.

Oleh karena itu, masalah rendahnya kinerja dan profesionalitas Polri bukan lagi berakar pada kelemahan landasan hukum, rentang kendali organisasi, atau independensi institusinya. Namun sebenarnya letak masalah terlebih pada masalah-masalah internal manajemen Polri.

Manajemen Polri boleh dikata kacau-balau bila diukur dari prinsip-prinsip organisasi modern. Ia amat sentralistik, superbirokratis, tidak transparan, dan kurang akuntabel meski di era globalisasi dan otonomi daerah sekarang ini masalah-masalah sosial, tantangan, bahkan kejahatan kian terdesentralisasi dengan pelaku bersifat lintas negara.

Gerak fungsi Polri menjadi lamban dan tidak dipandu dengan target dan strategi yang terintegrasi dengan baik dan terukur hingga ke unit paling bawah di tingkat polsek. Data menunjukkan bahwa kasus kejahatan (the most frequent crimes) melonjak tajam akibat krisis multidimensi yang melanda negara ini.

Pengelolaan secara optimal SDM Polri dalam sistem manajemen modern amat diperlukan. Ironisnya, meski reformasi Polri pada tahun 2002 telah memungkinkan jumlah perwira menengah dan tinggi melonjak drastis, tetapi mereka terkonsentrasi hanya di pusat. Data menunjukkan, dari 137 polisi dengan pangkat jenderal, 102 (75 persen) terkonsentrasi di mabes Jakarta. Sisanya tersebar ke seluruh provinsi.

New leadership
Terpilihnya Jenderal Sutanto untuk memimpin Polri menuai harapan akan revitalisasi Polri ke depan. Terlebih dengan lingkungan nasional dan global yang begitu drastis berubah, pekerjaan rumah kepolisian kian menumpuk tak sebanding dengan jumlah personel, kelengkapan, dan kualitas prasarananya.

Kita akui, revitalisasi ini bukan segampang membalik tangan. Hanya dengan figur kepemimpinan yang tegas, bersih, dan konsistenlah yang mampu meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri selaku ujung tombak penegakan hukum serta pengayom masyarakat dari segala bentuk kejahatan.

Tidak ada komentar: