Rabu, 22 Agustus 2007

RUU KAMNAS DAN POLRI

Oleh: MURADI
dosen tetap Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad,
dan dosen Hubungan Internasional FISIP Unpas.
Peneliti Institute Strategic and Defense Analysis (ISDA) Universitas Pasundan.

PRO-kontra antara Kapolri dengan Menhan serta kalangan akademik dan penggiat LSM seputar RUU Kamnas membuat pembahasan RUU itu terjebak pada tarik-menarik kepentingan. Kapolri menolak pembahasan RUU Kamnas yang cenderung akan mengerdilkan Polri dan menjadi subordinat dari TNI. Kalangan akademik dan LSM melihat bahwa RUU Kamnas cenderung menguntungkan TNI dan Dephan.

Bila dikaitkan dengan inisiatif aktif dari Dephan dan Mabes TNI, hal tersebut makin kentara dengan berbagai rumusan pasal yang mempertegas TNI sebagai institusi yang superior di antara institusi yang lainnya. Meski inisiatif pembahasan RUU Kamnas sudah dilimpahkan ke Menkopolhukam, dugaan adanya agenda tersembunyi dari Dephan dan Mabes TNI belum benar-benar hilang.

Pengusulan RUU Kamnas sejatinya merupakan respons dari ketiadaan payung hukum bagi institusi pengelola keamanan. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antarkelembagaan. Undang-Undang Pertahanan Negara lebih banyak mengatur esensi tugas TNI, dengan sedikit "bumbu" tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri.

Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 kemandirian dan profesionalisme Polri dianggap cukup selepas pemisahan dengan TNI. Namun hal ini menjadikan lembaga pengelola keamanan dalam negeri itu tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus. Hal ini tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).

Respons Polri dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perumusan naskah akademik alternatif RUU Kamnas, serta tidak ada reaksi yang signifikan dari BIN sesungguhnya menggambarkan bahwa usulan RUU Kamnas menjadi domain Mabes TNI dan Dephan. Bahkan kesiapan TNI dalam perumusan RUU itu ditandai dengan perubahan doktrin. Secara kelembagaan, TNI jauh lebih siap dari dua pengelola keamanan lainnya, bahkan dengan Dephan sekalipun.

Reposisi Polri
RUU Kamnas tersebut harus dilihat dalam tataran penataan kelembagaan dalam konteks reformasi sektor keamanan, di mana TNI, Polri, serta BIN ada di dalamnya. Artinya Polri harus terlibat dalam perumusan RUU Kamnas tersebut. Sikap yang cenderung reaktif dalam penolakan mencerminkan lemahnya posisi tawar Polri atas pelaku keamanan lainnya, khususnya TNI. Cepat atau lambat eksistensi Polri ini akan digugat oleh banyak pihak, sebab di banyak negara demokratis, posisi polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.

Ada dugaan bahwa penolakan Polri merupakan satu permasalahan serius di negara-negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoriterianisme. Dengan kata lain, di tubuh Polri masih mengalir deras kultur dan watak birokrasi yang enggan berubah, terlepas dugaan adanya agenda tersembunyi dari usulan RUU Kamnas dari Dephan tersebut.

Harus disadari pula bahwa UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri masih banyak membuka celah bagi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Di sinilah sesungguhnya titik krusial mengapa Polri harus terlibat aktif dalam pembahasan RUU Kamnas tersebut, sambil secara perlahan mengusulkan revisi beberapa pasal dalam UU Polri tersebut menyangkut tentang empat hal, yakni:
Pertama, anggaran Polri. Undang-Undang Polri tidak secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah dalam akuntabilitas dan transparansi. Sebagaimana diketahui bahwa sumber dari masyarakat tersebut berupa: "Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), dan Partisipasi Masyarakat (Parmas)."
Kedua, tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan kebijakan non-operasional. Dalam konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan penyimpangan. Polisi di belahan dunia mana pun merupakan pengelola keamanan yang bersifat operasional.
Ketiga, konsep Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan untuk membantu atau menyubsidi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah akan terintegrasikan dalam konektivitas kelembagaan. Dan Polri secara institusi akan mendapatkan dukungan anggaran operasional di daerah.
Keempat, revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dari sekadar lembaga think thank presiden menjadi lembaga yang menjembatani masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap Polri, agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat, seperti Kompolnas Filipina yang mampu membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang, sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Perspektif pertama, pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbikan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Memaksakan Polri di bawah satu departemen sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena watak korporat Polri akan mengganggu pada konsolidasi departemen terkait.

Perspektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di mana pun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, untuk tetap di posisi seperti sekarang peluangnya besar, selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.

Dari dua perspektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauh mana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat. Ada lima skenario reposisi Polri dalam UU Kamnas kelak, yakni:
Pertama, Polri berada di bawah Depdagri. Skenario pertama ini sesungguhnya sudah gugur, karena Depdagri tidak siap untuk "menyusui" Polri. Dengan berbagai permasalahan tentang dinamika otonomi daerah, departemen tersebut tengah merangkai bom waktu dengan adanya aktivitas Linmas dan Satpol PP yang menyebabkan koordinasi dengan Polri cenderung longgar. Di samping itu, kepolisian kita lahir dari suasana perang, sehingga ketika terintegrasikan ke Depdagri, maka permasalahan yang kemudian muncul akan makin kompleks.

Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan HAM. Infrastruktur penegakan hukum yang dimiliki oleh departemen ini relatif minim. Memindahkan Polri dengan anggota sekitar 250 ribu orang dengan berbagai permasalahannya membuat departemen tersebut kewalahan dan tidak siap. Bahkan disinyalir, ongkos sosial untuk mengintegrasikan Polri ke departemen ini akan membengkak, karena cenderung membangun dari awal berbagai fasilitas pendukungnya.
Ketiga, Polri di bawah Kejaksaan Agung. Langkah tersebut sama saja mengakumulasikan kerja penyidikan dan penegakan hukum dalam satu pintu. Sementara sebagaimana diketahui karakteristik kedua institusi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Penggabungan ataupun mengintegrasikan Polri di Kejaksaan Agung akan menciptakan permasalahan baru, terkait pada tugas-tugas penegakan hukum dan penyidikan antara kedua institusi tersebut, khususnya pada kasus-kasus politik dan ekonomi tingkat tinggi.

Keempat, membentuk kementerian baru dengan nama Kementerian Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), di mana unsur Polri menjadi unsur utama, dan bekerja sama dengan Depdagri, BIN, TNI, dan lembaga terkait lainnya. Keberadaan kementerian baru tersebut setidaknya akan membantu tugas Menkopolhukam dalam hal koordinasi dan antisipasi berbagai permasalahan yang terkait di dalam negeri, seperti pada konflik Poso, Papua, hingga konflik komunal lainnya. Hanya saja kelemahan dari pembentukan kementerian tersebut ada pada pemosisian Polri yang cenderung akan sangat dominan, apalagi bila sudah ditegaskan adanya UU Kamdagri.

Kelima, membentuk departemen kepolisian. Langkah ini sebenarnya pernah dicoba pada masa Orde Lama, namun karena konsepsinya berbeda dengan esensi kepolisian demokratik, maka Polri ketika itu menjadi kepanjangan tangan penguasa. Namun tidak ada salahnya diujimaterikan kembali, karena kondisi yang berbeda dengan era Soekarno dulu. Di Afrika Selatan, departemen kepolisiannya merupakan kepanjangan tangan penguasa apartheid. Sesungguhnya keberadaan departemen kepolisian ataupun kementerian kepolisian merupakan solusi terbaik agar Polri tidak memiliki dua fungsi: perumusan kebijakan dan operasional. Di samping itu, ongkos sosialnya pun hampir tidak ada.

Dari lima kemungkinan reposisi Polri memberikan gambaran bahwa jadi atau tidaknya pembahasan RUU Kamnas, Polri harus mengkaji secara mendalam kemungkinan reposisi tersebut. Hal ini terkait dengan penataan kelembagaan agar Polri dalam reformasi sektor keamanan, tidak lagi ketinggalan dan kebakaran jenggot dengan akselerasi dan kemajuan "saudara tua" tersebut.***

Tidak ada komentar: