Senin, 02 Juni 2008

Kontrol Publik atas Reformasi Polri

Oleh Novel Ali
dosen Fisip Undip Semarang; anggota Komisi Kepolisian Nasional.

SEJAKditetapkannya Undang-Undang (UU) 20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Kepolisian Negara Republik Indinesia (Polri) merupakan unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan di bawah naungan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Penempatan Polri di bawah Dephankam sebagai unsur ABRI tersebut berlangsung berturut-turut. Terakhir, berdasar UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri terpisah dengan TNI, dan langsung berada di bawah presiden.
Reformasi Polri sedikitnya meliputi tiga aspek, yaitu reformasi instrumental, reformasi struktural, dan reformasi kultural.
Ketiga aspek itu, mustahil dapat direalisasi tanpa dukungan masyarakat, di samping -tentu saja- tanpa dukungan negara. Dalam kerangka itulah, perlunya peniadaan tarik menarik kepentingan, antara siapa atau pihak mana pun yang dalam jangka waktu panjang, menengah, atau pendek, dapat mengakibatkan kendala substansial perwujudan Polri yang profesional dan mandiri.
Perubahan Kultur
Reformasi Polri hanya mungkin eksis jika ada dukungan masyarakat. Tanpa itu, perubahan kultur pribadi anggota (karakter polisi) -khususnya yang diduga korupsi, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keliru menggunakan diskresi, memberikan pelayanan yang buruk, atau melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayanan-, mustahil dapat dilaksanakan.
Dalam kaitan itu kita melihat, betapa di tengah bulatnya tekad pengabdian, pelayanan, dan pengayoman masyarakat oleh anggota dan institusi Polri, tidak sedikit ditemukan "fakta" yang disebut publik sebagai "polisi nakal". Polisi macam itu eksis, lantaran karakter pribadi bhayangkaranya tidak terpantau masyarakat. Di samping, yang jauh lebih penting, tidak secepatnya menerima sanksi administrasi dan hukum oleh atasan.
Keberadaan polisi nakal sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri.
Dalam konteks itulah arti penting reformasi kultural, di antaranya bertujuan meniadakan pemahaman yang keliru atau pemahaman yang sengaja digelincirkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai diskresi polisi pada khususnya.
Melalui reformasi kultural, diharapkan penerapan diskresi Polri lebih terarah kepada perwujudan etika dan profesionalisme polisi yang bersifat universal, sekaligus sebagai akses penyesuaian diri dengan domain kultural di lingkungan mikro (lokal), meso (regional), dan makro (nasional) setiap anggota Polri bertugas (di dalam negeri).
Reformasi Polri merupakan prasyarat mutlak guna meniadakan justifikasi publik atas kekuasaan yang berlebihan. Sebab, jika justifikasi publik atas kewenangan yang berlebihan dibiarkan tersebar ke mana-mana, akan mendorong tumbuh serta berkembangnya kesan umum berupa superbody-nya Polri. Kesan demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena Polri punya batas kewenangan -di tengah luasnya wewenang yang dimiliki- sebagaimana diatur UU 2/2002.
Reformasi Polri mutlak dibutuhkan, karena dengan itu akan terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota boleh dan tidak boleh berbuat.
Reformasi Polri membuka wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan melakukan pengaturan sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Tertutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.
Perubahan kultur pribadi polisi, tepatnya perubahan karakter setiap anggota sebagai salah satu sasaran reformasi, merupakan prasyarat mutlak terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di Tanah Air. Sebab, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan kepemimpinan lembaga-lembaga formal penegak hukum, khususnya kepolisian, merupakan penyebab kegagalan reformasi Polri secara keseluruhan.
Reformasi Polri mutlak dibutuhkan, terutama agar masyarakat luas mengetahui persis siapa (polisi) boleh melakukan apa, dengan cara bagaimana, serta bertujuan apa?
Demikian pula, polisi tidak boleh melakukan apa, lewat cara yang terhormat sekali pun, di samping untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum, nilai sosial, kepentingan kebersamaan, dan lain sebagainya.
Dengan cara demikian, publik akan menyadari, polisi itu bukan dewa. Polri pun bukan lembaga dewa. Kesadaran publik tersebut, pada gilirannya akan membentuk barikade internal di tubuh Polri, bahwa polisi bukan segala-galanya. Institusi kepolisian kita (Polri) pun bukan lembaga superbody.
Kontrol Publik
Realisasi reformasi Polri, membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol masyarakat, kedekatan permukiman warga dan pusat kegiatan awam dengan tempat bertugas polisi, disertai kewenangan polisi yang sedemikian luas, akan dapat membuka peluang polisi untuk bisa menyalahgunakan kekuasaannya.
Tanpa kontrol publik, tidak sedikit oknum polisi dengan gampangnya bisa melakukan tindakan korupsi, memberikan pelayanan yang buruk, serta tindakan diskriminiatif. Selain itu, dapat seenak hati menerapkan diskresi, sehingga -sekalipun dibenarkan oleh hukum- melanggar hak asasi manusia (penggunaan diskresi yang keliru).
Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota Polri pada umumnya, akan mendorong atasan (pimpinan secara berjenjang) menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi anggotanya yang nakal. Sebab, jika setiap jenjang komando di tubuh Polri -mulai tingkat Polsek, Polres, Poltabes, Polwiltabes, Polda, hingga Mabes- membiarkan anak buahnya nakal, cepat atau lambat masyarakat akan menjauhi polisi.
Termasuk dalam kategori polisi nakal adalah polisi yang berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi. Demikian pula polisi bergaya arogan.
Kedua karakter polisi di masa lalu itu, terbukti telah mengakibatkan keterpurukan citra yang berkepanjangan, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi di masa sekarang dan mendatang. Berbagai kasus pelayanan publik di lapangan membuktikan, di tengah maraknya persaingan antarlembaga pelayanan publik, baik antar sesama lembaga pelayanan publik milik negara (termasuk Polri) maupun antara lembaga pelayanan publik milik negara dengan milik swasta, tampaknya membuat masyarakat lebih memilih pelayanan yang dilakukan oleh lembaga nonpolri, ketimbang yang diperankan Polri.
Penyebabnya mudah ditengarai, yakni tidak sedikit pelayanan Polri yang mendatangkan risiko finansial (harus membayar) lebih banyak dibanding jika pelayanan sejenis dilakukan lembaga negara lainnya.
Multidimensi
Itulah sebabnya, mengapa reformasi Polri harus dilakukan dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek dan kepentingan lokal serta nasional, tetapi juga lewat pendekatan kepentingan global.
Itu berarti, reformasi Polri bersifat multidimensi, kalau memang benar-benar bertekad keluar dari berbagai kemelut dan jebakan kerusakan citra sistemik.
Aneka kemelut dan rusaknya citra secara sistemik, disebabkan terutama oleh keterlambatan pimpinan Polri khususnya, serta berbagai pihak lain (pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk bersama-sama melakukan reformasi.
Keterlambatan ketiga aspek reformasi tersebut, mengakibatkan sejumlah ideal dan norma hukum (bagian tanggung jawab Polri) kehilangan maknanya.
Salah satu contoh konkretnya adalah, ketika anggota Polri tidak melaksanakan tugas seperti perintah hukum yang sesungguhnya, atau di saat oknum anggota Polri menyalahgunakan kekuasaan, maka perilaku seseorang atau sejumlah orang yang memasuki ranah kewenangan lembaga peradilan (main hakim sendiri) pun menjadi bisa diterima awam.
Buktinya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang dapat secepatnya memancing tindakan yang sama dari orang lain, yang sebelumnya hanya diam saja.
Ketika mereka melihat polisi di sekitar tindakan main hakim sendiri tersebut cuma berdiam diri alias tidak bertindak keras melawannya, mereka pun terdorong ikut melakukan tindakan melawan hukum yang sama.
Di saat karakter polisi hanyut dalam situasi kerawanan psikologi massa dan tindakan destruktif, maka arena pengadilan dalam kehidupan masyarakat yang mendahului proses hukum yang sebenarnya berubah menjadi semacam lembaga sosial baru di tengah pusat kegiatan publik.
Selain itu, di saat anggota Polri tidak mampu mencegah dan menjatuhkan sanksi hukum atas egoisme perorangan dan kelompok yang diwujudkan dalam tindakan anarkis, tidak mengindahkan etika, norma sosial, hukum, dan nilai luhur lainnya, maka kekerasan publik di satu sisi serta kekerasan negara (Polri) di sisi lain akan menjadi lembaga dan kultur baru di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya, mengapa reformasi Polri patut diprioritaskan. Pengutamaan reformasi itu, akan membuat Polri tidak perlu "pusing kepala", di bawah siapa keberadaannya sekarang. Sejauh lebih menjamin berlangsungnya reformasi secara keseluruhan, pilihan itulah yang terbaik bagi Polri.

Paradigma Baru Polri Masa Depan

Oleh: Gendhotwukir
Mahasiswa Filsafat dan Teologi di Philosophisch-Theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.

Menyimak tulisan saudara Anang Fatkhurozi “Polri v Rakyat” ( 6/7) ada dua poin penting yang perlu ditanggapi atau lebih tepatnya diperdalam. Pertama, menyangkut figur polisi. Kedua, menyangkut trauma dan ketidakpercayaan masyarakat akan kehadiran sosok polisi.

Opini saudara Anang Fatkhurozi nampak kurang obyektif dalam menggagas sebuah persoalan. Tuntutan-tuntutan yang dilontarkan ke lembaga kepolisian kurang diimbangi dengan tuntutan atau harapan pihak kepolisian terhadap masyarakat, sehingga melalui tulisan tersebut terkesan masyarakat tahunnya hanya menuntut tanpa mau berperan aktif terlibat dalam penegakan hukum dan perwujudan etika profesi seorang polisi.

Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 telah dengan gamblang menyebutkan peran polri sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Tuntutan mendasarnya adalah bahwa setiap kiprah dan tindakan anggota polri haruslah dijiwai semangat dan sifat kepribadian seorang pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Etika profesi seorang polisi memang sudah saatnya digagas secara lebih mendalam, sejalan pergeseran paradigma baru tugas pengabdiannya. Pergeseran paradigma pengabdian yang dimaksud adalah pergeseran dari polri sebagai alat penguasa ke pengabdi kepentingan masyarakat. Pergeseran dari polri sebagai alat penguasa dengan otoritas “TUMPAS” ke sosok pribadi yang mengemban kepercayaan untuk melindungi dan melayani masyarakat dengan pendekatan moral dan akal budi.

Gagasan penting dari Roy R. Roberg dalam bukunya “The Changing Police Rolle, New Dimensions and New Issues” (California, 1976) dan Das K. Dilip dalam bukunya “Police Practices An International Review” (London, 1994) adalah perlu dikedepankannya perubahan style (gaya) dalam bertugas. Perubahan penampilan sikap yang kaku ke arah penampilan yang luwes dan fleksibel, perubahan dari perilaku berlagak sangar dan sok penguasa di jalan raya, ke perilaku ramah, murah senyum dan siap sedia melayani.

Membaca visi dan misi calon Kapolri yang baru, Komisaris Jenderal Sutanto, tumbuh harapan baru. Sutanto mencita-citakan figur polri yang profesional dan bermoral. Dalam hal ini ia mengagendakan peningkatan sumber daya manusia yang ada di polri. Salah satunya adalah diusulkannya pendidikan taruna Akademi Kepolisian (Akpol) sampai ke jenjang strata satu (S1). Agenda yang cukup bagus.

Program pendidikan dan pelatihan memang perlu mendapat perhatian utama khususnya dalam membentuk mental dan watak Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Lantas tidaklah berlebihan jika masyarakat juga menuntut perlu diagendakannya pendidikan yang berwawasan humaniora dan sosial bagi taruna Akpol seperti filsafat etika, sosiologi, psikologi, dsb dalam agenda pendidikan juga tersebut. Dengan demikian akan terbentuklah generasi muda Polri yang tidak hanya profesional, tetapi juga sungguh mengetahui tuntutan masyarakat, bermoral dan humanis.

Profesionalisme tentu saja erat berkaitan dengan mutu, kualitas dan tidak tanduk si pemegang profesi (polisi). Tidak hanya terampil memainkan pistol dan pentung, tetapi juga terampil bergaul secara harmonis dengan masyarakat. Dengan mengetahui tuntutan masyarakat, dimaksudkan seorang polisi hendaknya memiliki sifat realistis dan kritis sehingga mampu mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat dan tuntutannya. Bermoral berarti mengetahui yang baik dan benar sesuai kacamata hukum, akal budi dan terang hati nurani. Dan sosok polisi yang humanis berarti ia mampu memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik dengan masyarakat berdasarkan asas-asas peri kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia.

Di sisi lain, tuntutan yang demikian tentu saja perlu diimbangi peran aktif masyarakat dalam mewujudkan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan damai. Masyarakat sebagai mitra sejati Polri hendaknya juga berperan aktif menjunjung tinggi Undang- Undang yang berlaku. Di Era Reformasi ini, masyarakat dituntut juga untuk bersikap kooperatif dan sadar hukum. Diberlakukannya Undang-Undang tertentu pada dasarnya telah dipertimbangkan dengan seksama dan secara essensial karena memiliki tujuan yang baik. Hanya di lapangan memang ada oknum yang kabur hukum. Hukum diciptakan untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum karena masyarakat bukan budak hukum.

Diberlakukannya peraturan lalu lintas, tentu saja karena secara essensial peraturan tersebut memiliki tujuan baik untuk setiap pengemudi dan pengendara. Kewajiban mengenakan helm ketika sedang mengendarai sepeda motor tentu saja tidak dimaksudkan untuk gaya-gaya saja, melainkan erat kaitannya dengan kenyamanan dan keselamatan si pengendara manakala terjadi kecelakaan. Kaca spion, lampung reting, lampu depan dan lampu belakang tidak dimaksudkan untuk aksesoris, tetapi erat berkaitan pula dengan kenyamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas.

Anehnya, sudah ada aturan yang demikian, ada sebagian kecil anggota masyarakat yang malahan tidak berlomba-lomba untuk melengkapi diri, tetapi berpura-pura buta aturan. Sudah tahu resiko tidak melengkapi diri akan ditilang, setelah kena tilang mengeluh. Siapa yang salah? Khan salah sendiri. Kenapa kita tidak berlomba-lomba melengkapi diri dalam berlalu lintas sehingga pak polisi tidak punya alasan untuk menilang kita? Tentu saja ini hal ini perlu dibedakan dengan oknum polisi yang mencari-cari alasan untuk menilang. Dengan kata lain sebenarnya kesadaran sebagian kecil masyarakat terhadap hukum juga masih lemah.

Trauma dan ketidakpercayaan masyarakat akan akan sosok polisi karena pengalaman gelap dan suram masa lalu tentu saja bisa disembuhkan dan dipupuk dengan cara membuka diri terhadap nilai-nilai gelombang reformasi dan realita bahwa polri juga mulai berbenah diri. Reformasi diri untuk berkesadaran hukum menjadi penting seiring tuntutan-tuntutan kita akan reformasi etika profesi polri.

Masyarakat dan polri sudah tidak saatnya lagi diletakkan pada kutup yang berlawanan. Masyarakat adalah mitra kerja Polri. Membangun etika profesi polisi (polri) dan reformasi diri (masyarakat) untuk sadar hukum adalah elemen dasar yang mendesak perlu segera diwujudkan.

Mengembalikan Fungsi Polri Sebagai Polisi Masyarakat

oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani/ HP.081317468731

Polri dituntut untuk semakin profesional dan betul-betul menjadi pengayom masyarakat. Di satu sisi, masyarakat memang membutuhkan rasa aman dan damai, tetapi di sisi lain, Polri sebagai aparat penegak hukum yang menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat juga dihadapkan pada sejumlah keterbatasan. Mampukah Polri mewujudkan harapan masyarakat? .
Hal ini sejalan dengan harapan masyarakat agar Polri tidak saja menjadi aparat penegak hukum tetapi menjadi pengayom dan pelindung mayarakat.
Tantangan yang dihadapi pun kian beragam baik kejahatan konvensional maupun transnasional, yang membutuhkan penanganan lebih serius, komprehensif, dan profesional. Kendati di sisi lain, Polri masih dihadapkan pada berbagai keterbatasan personil, peralatan, dan fasilitas pendukung.
Di Tengah keterbatasan tersebut, patut diacungi jempol, Polri mampu membuktikan diri sebagai pengayom masyarakat dengan membongkar sejumlah rencana pengemboman dan menangkap gembong teroris, Abu Dujana, yang selama ini diyakini memiliki peran sangat vital dalam jaringan terorisi di Indonesia.
Kedua jenis kejahatan transnasional terorganisir tersebut masih merongrong ketentraman masyarakat. Kendati demukian, penuntasan kedua kejahatan tersebut tak bisa dilakukan dalam tempo singkat. Masalahnya, penanganan terorisme sampai saat ini masih terjadi pro kontra. Sedangkan, pemberantasan jaringan narkoba hingga ke akar-akarnya pun tak mudah dilakukan karena jaringannya sangat kuat dan disinyalir melibatkan banyak pihak sebagai beking. Karena itu, masalah ini tak hanya menjadi PR bagi Kapolri Jenderal Sutanto tetapi juga otomatis menjadi PR bagi pimpinan Polri mendatang. Apalagi, penanganan kedua masalah tersebut masih saja dihadapkan pada pro kontra di masyarakat, terutama penanganan terorisme. Ironisnya, masih ada pihak yang mengklaim apa yang dilakukan tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melanggar HAM.
Sekalipun demikian, ia mengatakan, terorisme tetap menjadi target utama Polri. Begitu pula beberapa kejahatan transnasional seperti peredaran narkoba, illegal logging, illegal mining, perdagangan manusia, dan korupsi. Semua ini menjadi tantangan tersendiri bagi Polri untuk dapat menuntaskannya, mengingatkan kasus tersebut tidak saja berdampak pada keresahan masyarakat, tetapi juga jika tak tuntas ditangani akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Peningkatan SDM
Sejalan dengan tuntutan masyarakat, Polri juga terus berupaya meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Dalam kaitan ini, Polri pada tahun akademik 2007 ini mulai menerima calon perwira lulusan sarjana. Selain itu, Polri juga terus menjalin kerja sama dengan kepolisian negara lain untuk meningkatkan pengetahuan anggota Polri.
Mengenai hal ini, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri mengatakan, Polri telah menjalin kerja sama dengan beberapa kepolisian negara lain untuk meningkatkan pengetahuan anggotanya di bidang reserse termasuk penanganan terorisme.
Sedangkan, Kepala Sekolah Calon Perwira (Ka Secapa) Polri, Brigjen Pol Ibrahim mengatakan, tuntutan masyarakat agar Polri lebih profesional telah mendorong pihaknya untuk semakin meningkatkan mutu pendidikan di Secapa Polri. Sebagai lembaga pendidik ujung tombak pimpinan Polri di lapangan (tingkat pimpinan Polsek), Secapa terus membenahi sistem pendidikannya agar mampu memenuhi harapan masyarakat.
Karena itu, berbagai prestasi yang diraih Polri jangan membuat mereka lengah tetapi Polri harus terus mawas diri sebab, di masa mendatang tantangan yang harus dihadapi jauh lebih berat.
Hal ini juga diingatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam sambutannya, presiden mengatakan, sesuai tema HUT ke-61 Bhayangkara, maka polisi harus bisa mewujudkan harapan sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan sekaligus milik masyarakat.
Presiden mengatakan, sejak Polri berdiri, banyak tugas yang telah diemban dan tak sedikit anggota Polri yang gugur dalam menjalankan tugas. "Untuk itu kita wajib memberikan penghormatan terdalam bagi para pendahulu kita. Perjalanan panjang Polri dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, sangatlah berarti. Mengingat Polri berperan penting dalam menciptakan rasa aman, tenteram, dan damai bagi masyarakat," kata presiden dalam sambutannya yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Pol Sutanto pada acara HUT ke-61 Bhayangkara di Mapolsek Banjar Baru, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Presiden mengatakan, pengabdian polisi bisa dilihat dalam keseharian mereka. Betapa mereka harus terus menjalankan tugas di tengah teriknya matahari atau hujan deras. Bahkan, mereka harus rela meninggalkan keluarga demi menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Tak jarang pula, mereka harus bertaruh nyawa melawan pelaku kejatan. "Semua ini sering kali luput dari perhatian kita semua," tuturnya.
Di sisi lain, presiden mengingatkan, menyikapi perubahan dalam masyarakat, Polri juga dituntut untuk melakukan reformasi internal, dengan membenahi berbagai aspek. Dalam kaitan ini, Presiden Yudhoyono mendukung rencana peningkatan kualitas sumber daya personil Polri untuk dapat memenuhi perbandingan dengan jumlah penduduk di Tanah Air yang mendekati angka 1:500. Presiden juga menyambut baik peningkatan kualitas anggota Polri melalui penyelenggaraan pendidikan termasuk pelatihan tugas spesifikasi keahlian di lapangan.
Dikatakan, munculnya berbagai tindak kejahatan beragam seperti kejahatan konvensional juga kriminal transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan dunia maya (cyber crime), kejahatan modus operandi yang memiliki jaringan global maka Polri dituntut untuk bisa menjawab tantangan itu melalui peningkatan profesionalisme Polri.
Presiden mengakui, kinerja Polri terus meningkat dari tahun ke tahun. Mulai penanggulangan gangguan keamanan, ketertiban dan aksi kriminalitas, bahkan mampu menindak pelaku teror, termasuk mencegah terjadinya teror dengan sasaran memberantas tokoh di balik aksi tersebut.
"Hal ini sangat membanggakan kita semua dan dunia internasional. Keberhasilan kita mendapat apresiasi tinggi dan dapat mengembalikan citra sebagai negara aman," papar presiden.
Kendati demikian, presiden meminta agar Polri tidak cepat berpuas diri tetapi harus tetap mawas diri mengingat kejahatan dimensi baru dan modus operandi serta aksi kejahatan lainnya dipastikan akan terus berkembang sejalan dengan perubahan sosial dan perkembangan teknologi modern. Untuk mendukung tugas Polri, kata dia, pemerintah terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana kepolisian. Presiden juga meminta Polri terus meningkatkan kemitraan dengan masyarakat melalui pembentukan forum kemitraan polisi dan masyarakat.
Semua ini menjadi tantangan tersendiri bagi Polri. Apalagi di era reformasi ini Polri dituntut untuk mampu menciptakan kondisi yang aman dan damai. Namun, di era reformasi ini pula, Polri harus mampu membuktikan diri sebagai polisi masyarakat yang dicintai, dimiliki dan menjadi kebanggaan masyarakat itu sendiri.