Selasa, 28 Agustus 2007

MEMAKSIMALKAN KERJASAMA POLRI, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Direktur CCIP [Telp. 02198689721]
Panen perkara korupsi yang ditangani Tiga institusi yang memiliki kewenanganmenyidik-kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), -patut diapresiasi positif.
Bahkan, yang mungkin menggambarkan rasa keadilan, begitu mudah dan dengan powerfull kejaksaan, kepolisian, serta KPK menetapkan para pejabat pemerintah seperti gubernur, wali kota, bupati, dan pimpinan DPRD, serta anggota DPRD menjadi tersangka tindak pidana korupsi di banyak daerah.
Kini, bahkan presiden turut memberikan dukungan kuat untuk memberantas korupsi.Di antaranya,mempercepat pemberian izin untuk memeriksa pejabat pemerintah yang du duga berkorupsi.
Meski demikian,jika kita amati,ada hal yang patut dikemukakan mengenai penanganan kasus-kasus korupsi. Dalam hal ini, banyak institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi.
Karena itu, banyak kalangan yang bertanya, perkara korupsi apa saja yang menjadi kewenangan penyelidikan kejaksaan? Juga, perkara korupsi jenis apa yang menjadi kewenangan kepolisian serta perkara korupsi mana yang penyilidikannya menjadi milik KPK?
Pada suatu sisi, adanya tiga institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi tersebut patut di sambut genbira. Sebab; dengan begitu, saat ini tidak mudah lagi orang yang di duga berkorupsi bisa lolos.
Namun, pada sisi lain,banyaknya institusi yang berwenang menyidik perkara korupsi bisa di anggap sebagai indikasi kerancuan tupoksi (tuga pokok dan fungsi) institusi Negara serta pemerintah.
Misalnya, apa kriteria perkara korupsi yang penyelidikannya harus dilakukan kejaksaan,kepolisian,dn KPK? Kabarnya, korupsi yang ditangani KPK adalah yang nilai kerugiannya lebih dari Rp 1 miliar.
Tetapi, kenyataannya,dugaan korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian di banyak daerah sekarang banyak yang nilai kerugiannya lebih dri Rp 1 miliar.
Kerancuan tersebut harus segera bisadi selesaikan . Khususnya, menata kembali perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi serta institusinya yang diberi kewenangan menyidik.
Jika tidak, di kemudian hari, sangat mungkin terjadi bias persepsi serta interpretasi.Misalnya, bisa saja ada laporan yan g masuk ke kejaksaan dari masyarakat mengenai dugaan korupsi.Tetapi karena tidak cukup bukti,kejaksaan tidak bisa memproses penyelidikan menjadi penyelidikan.Bahkan,kejaksaan tak bisa menetapkan orang yang diduga berkorupsi menjadi tersangka.
Namun,ketika perkara yang sam laporannya dialihkan kepolisi dan kepolisian merasa bisa mengumpulkan bukti, perkara itu bisa ditingkatkan ke proses penyelidikan ,bahkan sampai ke pengadilan.Hanya, ketika hal demikian terjadi,kesan yang muncul adalah tidak adanya kepastian penanganana perkara .
Itu belum seberapa, Masalahnya menjadi lain ketika,misalnya pelaku perkara korupsi yang di tangani kejaksaan divonis bebas oleh hakim lantaran tidak cukup bukti.
Tetapi, di kemudian hari, kepolisian merasa memiliki novum (bukti baru)pada perkara yang sama dan kemudian berakhir dengan vonis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti berkorupsi.Jika terjadi ,bukankah hal itu merutidapakan nebis in idem?Perkara yang sama tidak boleh diadili lagi karena pernah mendapatkan kepastian hukum –terdakwa bebas.