Rabu, 22 Agustus 2007

KEBIJAKAN REVITALISASI PENDIDIKAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA

Oleh: Soekartawi
Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional
Pentingnya pendidikan bagi Indonesia, tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dimana pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945); dan pendidikan merupakan hak asasi manusia dan hak setiap warga negara (Pasal 12). Oleh karenanya negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari Anggapan Pembangunan dan Belanja Negara. Juga dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan, dituliskan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, namun masalah besar pendidikan di Indonesia dewasa ini masih terlihat di tiga hal yaitu masalah yang berkaitan dengan (a). peningkatan dan perluasan akses pendidikan, (b). peningkatan kualitas, relevansi dan rendahnya daya saing pendidikan, dan (c). Penguatan manajemen, akuntabilitas kinerja dan citra publik.Beberapa strategi untuk mencapai kemampuan berkompetisi yang telah dibahas di makalah ini adalah (a). Meningkatkan program yang berkualitas dan mempunyai relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja (Enhanced Program Excellence and Relevance), (b). Meningkatkan efisiensi dan kualitas manajemen (Enhanced Efficiency and Quality Management), (c). Menjamin kelangsungan tersedianya anggaran (Ensured Financial Viability), (d). Meningkatkan kerjasama (Strengthen Networking), dan (e). Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan (Increased Access to Market the Programs and Output).
PendahuluanKalau kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah pendidikan, pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut prihatin. Indeks pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia berada di urutan 6 dan indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di ranking 5 dari 10 negara ASEAN. Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang dipakai, itulah penilaian lembaga internasional ternama seperti United Nations Development Program (UNDP). Saya berharap data ini dapat dipakai untuk memacu pembangunan pendidikan pada masa mendatang.Salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tiga macam indeks pengukuran di atas adalah dengan memajukan pendidikan. Banyak ahli berpendapat bahwa variabel pendidikan inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai pemicu (trigger) dalam menggerakkan pembangunan suatu bangsa. Instrumen kebijakan yang dapat ditawarkan untuk memicu pembangunan pendidikan, dengan tanpa berangkat dari nol, adalah dengan cara melakukan ‘revitalisasi sumber daya pendidikan’. Revitallisasi pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, memberi makna bahwa peran pendidikan itu diyakini sangat penting dan strategis, namun karena pengelolaan sumber dayanya tidak atau kurang baik, maka keunggulan kompetitif pendidikan di Indonesia menjadi rendah. Karena itu solusinya adalah bagaimana melakukan revitalisasi sumber daya pendidikan tersebut agar kemampuan kompetisi (competitiveness) menjadi tinggi.Untuk mengetahui sampai seberapa besar tingkat kompetisi pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN, maka berikut ini disajikan secara singkat beberapa indikator pembangunan sumber daya manusia (yang erat kaitannya dengan kualitas pendidikan) dan pembangunan di sektor pendidikan.
1. Pembangunan SDM dan Pendidikan di IndonesiaAda tiga sumber data yang dipakai untuk menjelaskan kemajuan pembangunan manusia dan di sektor pendidikan, yaitu data yang bersumber dari United Nations Development Program (UNDP, 2004) yang membandingkan kemajuan pendidikan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya; data evaluasi pendidikan Indonesia dari BPS, Bappenas, UNDP (2004), dan data dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) Departemen Pendidikan.
a. Human Development Index (HDI)Human Development Index (HDI) adalah parameter yang menunjukkan tingkatan ‘kualitas’ sumber daya manusia yang cara perhitungannya bukan saja menggunakan variabel pendidikan, tetapi juga variabel ekonomi dan kesehatan. Data di bidang pendidikan yang digunakan juga sebagian saja dari sekian banyak data pendidikan yang tersedia. Data pendidikan yang digunakan untuk menghitung HDI adalah data melek huruf orang dewasa (usia >15 th) dan data Gross enrolment ratio (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Pertama dan Atas, dan Perguruan Tinggi). Begitu juga variabel kesehatan, hanya dipakai data usia harapan hidup (life expectancy); sedangkan untuk variabel ekonomi, datanya hanya diambil angka Gross Domestik Product (GDP) per kapita. Kemudian dari tiga variabel tersebut dihitung HDI. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah seperti yang disajikan di Tabel 1. Data yang disajikan di tabel 1 terdiri dari tujuh variabel usia harapan hidup, melek huruf dewasa (usia >15 th), Gross enrolment ratio (SD,SM,PT), GDP/kapita, Indeks usia harapan hidup, Indeks pendidikan dan Indeks GDP. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah 0,692. Walaupun angka HDI ini kelihatan rendah (dibandingkan dengan ASEAN, Tabel 2), namun untuk setiap tahunnya angka HDI Indonesia mengalami kenaikan yang meyakinkan.
Kalau data Human Development Index (HDI) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maka Indonesia menempati urutan (ranking) keenam setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (Tabel 2). Walaupun ukuran yang ditetapkan oleh UNDP ini memperoleh banyak kritik dari berbagai pihak, namun karena kurang atau tidak ada lembaga lain yang melakukan pengukuran HDI, maka hasil HDI yang dihasilkan oleh UNDP ini banyak dipergunakan oleh para ahli, baik para ahli Indonesia maupun ahli asing. Juga angka HDI karya UNDP ini justru banyak dipakai sebagai landasan membuat keputusan untuk menjelaskan dan membanding kemajuan pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia, dari suatu negara.

Walaupun variabel yang dipakai untuk mengukur Human Development Index (HDI) ini banyak memperoleh kritikan, namun hasil akhir dari angka-angka HDI di negara-negara ASEAN adalah cukup realistik. Penempatan angka HDI untuk Indonesia di urutan 6 adalah logis karena ‘kemajuan’ Indonesia dibandingkan dengan enam negara lainnya memang di sekitar enam tersebut, setelah Brunei Darussalam, Singapore, Malaysia dan Thailand.Juga walaupun angka HDI Indonesia berada di urutan ke-6 di ASEAN, namun kalau dilihat dari perkembangannya sejak tahun 1975 adalah mengalami kenaikan yang signifikan. Kalau tahun 1975 angka HDI sebesar 0,47, maka pada tahun 2002, angka HDI Indonesia sebesar 6,9% per tahun.
b. Indeks PendidikanData yang dipakai untuk mengukur indeks pendidikan juga terbatas pada data melek huruf dan gross enrolment ratio dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi (SD, SM dan PT). Terlepas dari setuju atau tidak dengan cara yang dipakai oleh UNDP tersebut, maka terlihat di Tabel 3 bahwa indeks pendidikan Indonesia berada di bawah Vietnam, yaitu di urutan 7, sementara Vietnam berada di urutan 6.

2. Upaya yang Telah dan Akan DilakukanBerbagai upaya memang telah dilakukan untuk membangun manusia Indonesia dan membangun sektor pendidikan di Indonesia. Bahkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang ‘Pendidikan’, menjelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, Bab VIII Pasal 33 tentang ‘Sumber Daya Pendidikan’ dituliskan bahwa pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan/atau keluarga peserta didik. Selanjutnya menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa pengelolaan perguruan tinggi (satuan pendidikan tinggi) dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akutabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan (Bab XIV, Pasal 51). Ini artinya perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa mempersiapkan dirinya untuk tetap berkualitas seperti yang diharapkan dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya guna tetap menjaga agar perguruan tinggi tersebut tetap mempunyai akuntabilitas yang handal.Pemerintah kini terus meningkatkan pembangunan pendidikan di Indonesia. Prioritas pertama yang dikerjakan adalah menetapkan dan melaksanakan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Karena itulah pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan dan memperbaiki sistem pendidikan untuk : (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Prof Satryo S. Brodjonegoro (2004), Dirjen Dikti Depdiknas, dalam artikelnya berjudul ‘Higher Education Reform in Indonesia’ menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia telah dirumuskan dan dilaksanakan melalui kebijakan baru yang dinamakan lima pilar pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu: (a). Mendorong penyelenggara pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, (b). Memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi, (c). Meminta kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk memperhatikan aspek akuntabilitas, (d). Melaksanakan akreditasi kepada semua penyelenggara pendidikan tinggi, dan (e). Melakukan evaluasi secara rutin agar penyelenggaraan pendidikan berjalan seperti yang diharapkan.Untuk lancarnya pelaksanaan ke lima pilar tersebut, maka pemerintah melaksanakan strategi yang dianggap cukup baik dalam pengelolaan sumber daya pendidikan yang efisien di Perguruan Tinggi (khususnya dalam hal pendanaan) adalah menggunakan cara yang dikenal dengan nama Planning, Programming and Budgeting System (PPBS) atau lebih dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pendidikan atau disingkat dengan nama SP4 (Anonim, 2004). PPBS ini telah banyak dicoba dan dipraktekkan di berbagai Perguruan Tinggi di luar negeri dan hasilnya cukup menggembirakan.
3. Masalah Besar Pendidikan Indonesia yang Harus DiresponMasalah besar pendidikan di Indonesia seperti dituliskan di atas adalah bagaimana (a). Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Ketimpangan pemerataan pendidikan bukan saja terjadi di antar wilayah Indonesia kawasan barat dan timur, atau di Jawa dan luar Jawa, tetapi juga terjadi di kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan pemerataan juga terjadi di antar tingkat pendapatan penduduk dan bahkan juga terjadi di antar gender. Sedangkan kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Menurut dokumen Propenas tahun 2000-2004, dituliskan bahwa berdasarkan hasil studi International Education Achievement diketahui bahwa kemampuan membaca murid Sekolah Dasar Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara itu kemampuan Matematika murid Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) berada di urutan ke-39 dari 42 negara yang diteliti, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam, murid SLTP di Indonesia berada di urutan 40 dari 42 negara yang diteliti. Sementara itu lemahnya manajemen pendidikan lebih banyak disebabkan oleh kebijakan bidang pendidikan masa lalu dimana manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih banyak yang bersifat sentralistik, sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan sentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan yang cenderung sentralistik ini juga menciptakan adanya kebijakan yang seragam untuk seluruh Indonesia, padahal kebijakan yang demikian hampir dapat dipastikan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman dan kepentingan di daerah, di sekolah, dan bahkan di masing-masing peserta didik. Kebijakan yang sentralistik juga cenderung dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan ketidak-efisienan pengelolaan sumber daya pendidikan.Bahkan laporan dari ’World Competitiveness Yearbook’ menempatkan kemampuan pendidikan di Indonesia untuk berkompetisi terus menurun. Pada tahun 1977 saat awal masa krisis ekonomi, urutan atau ranking pendidikan di Indonesia berada di urutan 39 kemudian pada tahun 1999 urutan tersebut menurun menjadi urutan 46 dari 47 negara. Pada tahun 2002 ranking kemampuan berkompetisi dari pendidikan di Indonesia menurun lagi ke urutan 47 dari 49 negara yang ada di daftar buku tersebut (Hamid, 2003). Untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional seperti yang diuraikan di atas, masing-masing penyelenggara pendidikan dituntut untuk melakukan upaya-upaya pengelolaan sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Maksudnya agar lembaga pendidikan tersebut mampu bertahan dan berkembang ke arah yang lebih maju dan seterusnya mampu bertahan dan bersaing dengan penyelenggara pendidikan yang lain yang jumlahnya yang semakin banyak dan mutunya yang semakin baik.
Menuju Perguruan Tinggi yang Mampu Berkompetisi1. Variabel Pembentuk Daya SaingVariabel pembentuk daya saing di perguruan tinggi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannya, dan
Kualitas produk lembaga pendidikan.
a. Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannyaMustahil kalau suatu lembaga ingin mempunyai daya saing yang tinggi kalau tidak mempunyai sumber daya (resources) yang memadai. Di perguruan tinggi, sumber daya ini dapat berupa sumber daya yang ‘dapat dilihat’ (tangible) dan yang sumber daya yang tidak dapat dilihat (in-tangible). Sumber daya yang tangible, antara lain: manusia (dosen, pegawai) dan sumber daya pendukung lainnya atau sarana dan prasarana seperti laboratorium, gedung administrasi, ruang rapat, ruang kerja dosen dan karyawan, ruang perpustakaan, ruang perkuliahan, teknologi audio dan video, komputer dan internet, dana, IPR (intellect property rights), hak monopoli dan hak exclusive licenses. Sementara itu yang in-tangible adalah sistem/program pendidikan, kurikulum, organisasi dan kepemimpinan, strong brands, serta kemampuan bekerjasama.
b. Kualitas produk lembaga pendidikanAda beberapa produk lembaga pendidikan yang dapat dipakai sebagai parameter ’kemampuan bersaing’, yaitu produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lain, produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain, dan produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lain.
1). Produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lainLembaga pendidikan tinggi yang mendapat ’exclusive licenses’ akan menghasilkan produk yang tidak dapat disangi oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain. Misalnya, Akademi Kepolisian yang lisensinya dari Markas Besar Kepolisian, Akademi ABRI atau Akabri yang lisensinya dari Markas Besar ABRI, dan masih banyak contoh yang lain.
2). Produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain Lembaga pendidikan sering banyak diminati oleh mahasiswa dan keberadaannya sangat disegani oleh pesaingnya yang disebabkan karena dipunyai parameter daya saing yang relatif sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya. Parameter daya saing yang sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya, antara lain:
Lembaga pendidikan tinggi yang sudah mempunyai ’Strong Brands’ yang kuat. Misalnya, Universitas Indonesia (UI), di samping universitas yang banyak pengalaman, juga alumninya banyak yang mejabat jabatan tinggi seperti Menteri, Dirjen, Duta Besar, dan sebagainya. Hal yang sama dengan IPB, ITB, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya pendidikan atau produk yang khas dan berbeda (distinctive). Misalnya, Universitas Pelita Harapan dan Bina Nusantara Jakarta yang distinctive-nya berada pada fasilitas teknologi informasi yang dipunyai dan yang diajarkan ke mahasiswa. Parameter yang ’distinctive’ dapat bermacam-macam dan keunggulan di parameter inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai ’trigger’ (pemicu) untuk menarik mahasiswa baru untuk memilih lembaga pendidikan tersebut. Parameter ’distinctive’ ini bisa berbentuk: (a). teknologi informasi, (b). lulusannya dibantu memperoleh pekerjaan (disalurkan penempatannya, walaupun hanya beberapa bulan sambil yang bersangkutan memperoleh pekerjaan tetap), (c). fasilitas pendidikan lainnya lengkap, (d). dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh kepemimpinan (leadership)-nya kuat, teamwork-nya juga kompak apalagi kalau lembaga pendidikan tersebut dibina atau dipimpin oleh orang yang dikenal komitmennya membangun pendidikan, mempunyai prestasi akademis yang handal, mempunyai track records pengabdian kepada masyarakat yang tinggi. Misalnya di IBI ada Dr. Kwiek Kian Gie, Universitas Mercubuana ada Probosutedjo, Universitas Pancasila ada Dr. Siswono, Universitas Indonesia Esa Unggul ada Dr. Abdul Gafur, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal reputasinya sebagai lembaga ilmiah yang dicirikan hasil penelitiannya yang banyak mempengaruhi kebijakan, banyak buku-buku yang ditulis oleh dosen, penghargaan akademis khusus yang banyak diterima, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal mempunyai networks dan partnerships yang kuat dan luas juga umumnya banyak diminati mahasiswa.
Lembaga pendidikan tinggi yang khas (unique) dan menawarkan program serta keterampilan tertentu yang tidak banyak ditawarkan oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain.
3). Produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lainBila saja lembaga pendidikan berada di posisi ini, maka dapat dipastikan akan menghadapi banyak pesaing, dan bila saja tidak ’full fight’ (bersungguh-sungguh) mengelolanya, maka bisa jadi sedikit saja atau bahkan tidak ada mahasiswa yang akan mendaftar. Selanjutnya, untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing tentu diperlukan kemampuan (capability) dalam memproduksinya. Karena itu diperlukan penetapan terhadap produk-produk apa yang diinginkan, sumber daya dan kemampuan apa yang harus disiapkan atau bahkan dimiliki. Bila suatu lembaga pendidikan sudah mempunyai kemampuan berkompetisi dengan lembaga yang lain, maka tugas lebih lanjut adalah (a). Mempertahankan kemampuan berkompetisi yang telah dimilikinya (dalam jangka waktu yang relatif lama), dan (b). Meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru lainnya.Kemampuan berkompetisi sebaiknya berjangka panjang, walaupun diakui bahwa hal ini sulit. Mengapa? Sebab lingkungan pendidikan (education environment) berubah, kebutuhan atau keinginan pengguna produk pendidikan (users) juga berubah, ekspetasi atau harapan, baik ekspetasi penyelenggara pendidikan (perguruan tinggi) maupun pengguna lulusan juga berubah. Belum lagi pengaruh globalisasi terhadap produk perguruan tinggi menyebabkan pengelolaan perguruan tinggi harus lebih profesional. Mempertahankan kemampuan berkompetisi dalam waktu yang relatif lama disebut dengan istilah ’sustainable competitive advantage’.
Sementara itu upaya untuk meningkatkan dan mencari macam kompetisi baru juga perlu terus diusahakan. Karena itu kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan mengantisipasi perubahan global termasuk perubahan terhadap permintaan produk perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
Beberapa Alternatif Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing (’Competitiveness’)
1. Menetapkan ’Core Competency’ Apakah yang disebut dengan ’core competency’ dan apa relevansinya dengan peningkatan kemampuan melakukan kompetisi di perguruan tinggi? Menurut Anonymous (2005), ’core competency’ is ...the one thing that do better than its competitors. A core competency can be anything from product development to employee dedication. If a core competency yields a long term advantage to the organization, it is said to be a sustainable competitive advantage’.Menurut Hamel dan Prahalad (1990), ada tiga komponen yang mencirikan ‘core competencies’, yaitu: (a). Mempunyai potensi akses yang luas. Misalnya, lulusan perguruan tinggi diperlukan dan karenanya cepat memperoleh pekerjaan, hasil penelitiannya berbobot sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan di lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya, dan sebagainya. (b). Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan manfaat yang lebih kepada pengguna produk perguruan tinggi tersebut, dan (c). Kualitas produknya sulit untuk disaingi oleh perguruan tinggi lainnya.Berdasarkan definisi dan ciri dari ’core competencies’ tersebut, maka tiap pimpinan pendidikan tinggi dapat menentukan produk-produk apa yang dihasilkan dan mempunyai karakter seperti yang dituliskan di definisi dan ciri-ciri ’core competencies’ di atas. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memproduksi produk perguruan tinggi yang mampu berkompetisi. Misalnya, memberikan nilai tambah kepada lulusannya dengan memberikan ekstrakurikuler ketrampilan tertentu misalnya kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris atau ketrampilan lainnya. Nilai tambah yang diberikan dapat beragam tergantung dari kebutuhan, namun sudah bukan menjadi rahasia umum kalau lulusan S-1 yang baru lulus, di mana bila saja mereka tidak mempunyai nilai tambah ’kemampuan menggunakan komputer, kemampuan berbahasa Inggris, dan ketrampilan tertentu, maka sulit bagi mereka untuk berkompetisi mencari pekerjaan.Untuk memperoleh kemampuan berkompetisi secara jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), maka produk perguruan tinggi dituntut untuk memenuhi dua macam produk yang dicirikan oleh hal sebagai berikut:
Kualitas produk perguruan tinggi yang tidak dapat atau sulit ditiru oleh perguruan tinggi lainnya (distinctive capability), baik yang bersifat ’tangible’ maupun ’intangible’. Sifat tangible ini misalnya mempunyai hak patent, mempunyai lisensi-lisensi tertentu, dan mempunyai hak monopoli untuk kegiatan tertentu. Sedangkan yang intangible, misalnya produk perguruan tingginya yang sudah dikenal, kepemimpinan yang efektif di perguruan tinggi yang bersangkutan, team work yang dikenal hebat, pimpinan perguruan tingginya yang dikenal cakap/berwibawa, mempunyai ’organizational culture’ yang hebat, mempunyai kerjasama, dalam dan luar negeri yang kuat, dan sebagainya.
Kualitas produk perguruan tinggi yang dapat ditiru oleh perguruan tinggi lainnya. Misalnya, kemampuan teknis dosen atau karyawan, kemampuan finansial, kemampuan promosi.
2. Evaluasi Diri untuk Penyusunan Strategi Menuju ’Competitiveness’Banyak cara atau strategi yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah melakukan evaluasi diri untuk memotret bagaimana posisi pendidikan sekarang dan bagaimana posisi itu dipakai untuk merespon lingkungan pendidikan yang ada dan yang akan datang. Tiap pimpinan perguruan mempunyai cara (styles) sendiri-sendiri karena pada hakekatnya memmimpin perguruan tinggi diperlukan ’art’ (seni) tersendiri yang satu sama lainnya berbeda. Bagaimana kualitas ’art’ pimpinan perguruan tinggi ini dalam memimpin sangat tergantung dari ’jam terbangnya’ atau pengalaman dalam memimpin. Namun satu hal yang perlu diingat dalam hal menciptakan, mempertahankan, dan membuat kemampuan berkompetisi, yaitu kejelian dalam mengantisipasi dan merespon perubahan global.
Strategi dalam merespon Era GlobalEra globalisasi sekarang ini ternyata menimbulkan apa yang disebut dengan ’hypercompetition’. Dalam artikelnya yang berjudul ’The Potential Competitive Advantage of Innovative For-Profit/Non-Profit Partnerships in Higher Education’, Profesor Goldstein (2004) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan ’hyper-competition’ adalah ’...a key feature in global era in which new costumers (users) want it quicker, cheaper, and they want it in their way…’. Dengan prinsip seperti itu, maka lambat atau cepat akan terjadi perubahan dalam organisasi lembaga pendidikan (perguruan tinggi) dalam merespon ciri ’hyper-competition’ tersebut.Beberapa saran tentang bagaimana membuat strategi dalam rangka antisipasi globalisasi, antara lain melalui kebijakan sebagai berikut:
memperkuat jaringan kerjasama (networks) yang ada,
meningkatkan dan memperkuat kerjasama (partnerships),
memperkuat kemampuan atau penguasaan terhadap teknologi informasi,
memperkuat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya melalui sinergitas berbagai kegiatan.
Dalam kaitannya dengan memperkuat networks dan partnerships, Prof. Goldstein memberikan saran tentang strategi apa yang perlu dibuat (prioritas utama) untuk mengantisipasi kompetisi tersebut, antara lain:
Memperkuat partnerships (kerjasama) baik dengan lembaga di dalam negeri maupun dengan lembaga luar. Sebab kerjasama yang kuat (syukur kalau dengan lembaga yang lebih tinggi statusnya) dalam setiap kegiatan yang mendukung proses belajar-mengajar dan penelitian, maka dampaknya akan lebih berbobot.
Memperkuat ’networks’ (jaringan) yang kuat baik dengan lembaga di dalam negeri maupun lembaga luar negeri, ’personal networks’ (khususnya dengan pembuat keputusan).
Prof. Soekartawi (1999, 2001, and team, 2000, and Flor, 2001), baik sendiri maupun bekerja secara tim, telah mengembangkan dan mengevaluasi kekuatan networking ini dalam meningkatkan kopetensi di perguruan tinggi. Pengalaman Soekartawi (2001) soal bagaimana membangun network dan mengaplikasikannya dalam SEARCA’s University Consortium seperti yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul ’Seven Ways in Successful Academic Networking’ barangkali baik untuk referensi untuk menyusun strategi meningkatkan kompetisi melalui pendekatan networks dan partnerships. Sementara itu, dalam kaitannya dengan meningkatkan penguasaan dan aplikasi teknologi informasi, telah pula dibahas oleh para ahli. Misalnya, Prof. Sweeney dan Daly (2002) dalam artikelnya yang berjudul ’The Higher Education Competitive Advantage: Accelerated Learning and Artificial Intelligence’ lebih cenderung menyarankan untuk memperkuat kemampuan teknologi informasi. Sebab saat jaman global seperti sekarang ini kebutuhan akan kemampuan menguasai dan menggunakan teknologi informasi adalah sangat besar.Selanjutnya, upaya meningkatkan competitiveness juga dapat dilakukan melalui meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara efisien dengan memperhatkan aspek ’sinergitas’. Gallon, Stillman and Coates (Anonymous, 2005) membedakan kompetensi yang harus dicapai di kegiatan bisnis dan di kegiatan akademis. Karena itu mereka mendefinisikan kompetensi di lembaga seperti perguruan tinggi, yaitu ’....core competencies are aggregates of capabilities, where synergy is created that has sustainable value and broad applicability...’. Jadi kata ‘synergy’ menjadi kata kunci yang maksudnya adalah pemanfaatan sumber daya pendidikan efisien agar hasilnya sesuai dengan diharapkan. Misalnya bagaimana ‘team building’ dibentuk agar kegiatan yang sinergi bisa diciptakan. Di sini kombinasi yang sinergis antara pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) harus saling melengkapi dan saling mendukung agar memperoleh hasil seperti yang optimal seperti yang diinginkan.Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas sebagai suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia, menyarankan bahwa dalam membangun suatu lembaga pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, tidak bisa dilakukan secara parsial, namun harus dilakukan secara komprehensif dan holistik (menyeluruh). Depdiknas dan juga lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri menerapkan konsep pembangunan pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui cara ’Planning, Programming, and Budgeting System’ (PPBS) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Penyusunan Program dan Penganggaran’ atau SP4 (Anonim, 2003). Uraian berikut ini khusus membahas PPBS atau SP4 karena bagaimanapun cara ini masih diakui oleh Depdiknas sebagai salah cara ampuh untuk meningkat kemampuan perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat dengan lembaga pendidikan yang lain.Salah satu cara yang kini dipakai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Depdiknas adalah menggunakan cara atau strategi yang dinamakan PPBS atau Planning, Programming, Budgeting System. Wikipedia (2005) mendefinisikan PPBS ....is an effect on integrating of number of techniques in a planning and budgeting process for identifying, costing and assigning a complexity of resources for establishing priorities and strategies in a major program and for forecasting costs, expenditure and achievements within the immediate financial year or over a longer period.Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Wikipedia tersebut, dikemukakan bahwa PPBS lahir tahun 1962 yang justru dipakai oleh departemen Pertahanan Amerika Serikat, pada saat Menteri Pertahannya dijabat oleh Robert McNamara. Dengan pengalaman di Departemen Pertahanan tersebut, maka teknik PPBS ini diyakini mampu untuk:
Mengidenfikasi tujuan perencanaan dalam jangka panjang berdasarkan sumberdaya yang dipunyai sekarang dan yang akan datang.
Menganalisa secara cermat terhadap manfaat dan biaya dari program atau program alternatifnya untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai.
Menjelaskan keterkaitan antara program dan anggaran yang diperlukan serta perubahan-perubahannya bila ada penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Karena itulah maka para ahli dan praktisi banyak yang menggunakan PPBS ini dan berkomentar, antara lain (Anonymous, 2005) yang mengomentari bahwa keunggulan PPBS sebagai berikut: ‘PPBS imposed financial discipline, integrated the information necessary to develop effective programs to address existing and emerging needs, and established a disciplined review and approval process’.
Langkah-Langkah Praktis Meningkatkan Daya Saing Seperti dijelaskan sebelumnya sumber daya pendidikan di perguruan tinggi meliputi sumber daya yang tangible dan in-tangible. Untuk mencapai pengelolaan sumber daya pendidikan secara efisien, maka prinsip-prinsip dari fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian kerja perlu diikuti dan dilaksanakan secara baik. Hal ini penting karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi hanya dapat tercapai secara optimal apabila ada keterpaduan dari setiap aspek fungsi manajemen tersebut. Karena itulah maka berbagai cara telah dicoba untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna pengelolaan pendidikan. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka pemikiran yang memanfaatkan sumber daya pendidikan tinggi untuk mampu berkompetisi adalah sebagai berikut:
1. Enhanced Program Excellence and Relevance Semua program yang akan dilaksanakan diusahakan sedapat-dapatnya merupakan program yang terbaik dan ada relevansinya dengan kebutuhan. Teknisnya dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:a. mendefinisikan apa programnya dan tetapkan apa parameternya,b. membuat LogFrame (Logical Framework),c. menetapkan secara jelas pengelolanya (Who you are?), dan d. menetapkan apa yang dicita-citakan (what ought to be?).
2. Enhance Efficiency and Quality ManagementPrinsip-prinsip manajerial yang efektif dan efisien serta yang berkualitas perlu dipahami oleh semua pengelola, termasuk dosen dan karyawan lembaga pendidikan tersebut. Maksudnya agar terjadi kesamaan pengertian antara apa yang dimaksudkan pimpinan adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh dosen dan karyawan.
3. Ensured Financial ViabilityAda dua hal yang perlu diperhatikan manakala membahas dana, yaitu:
Dana yang cukup dan memadai serta tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan. Pimpinan lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk mampu menggalang dana. Untuk perguruan tinggi, sumber dana dapat berasal dari: (i). SPP mahasiswa, (ii). Bantuan/partisipasi masyarakat (sumbangan sukarela), (iii). Usaha sendiri yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan melalui penelitian dan berbagai macam kerjasama, (iv). Donor dari luar negeri.
Efisiensi pemanfaatan dana. Pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk mampu melakukan efisiensi penggunaan dana tanpa harus mengurangi cita-cita (goals) yang diiinginkan. Prinsip-prinsip seperti yang ada di dokumen SP4 (Sistem Perencanaan, Penyusunan program dan Penganggaran) yang kini dianjurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, barangkali bisa dipakai sebagai acuan.
4. Networking yang kuat Dalam era global seperti sekarang ini, di samping harus mempunyai kemampuan menguasai teknologi, khususnya teknologi informasi, dan mampu mengantisipasi perubahan yang cepat, juga dituntut untuk mampu menciptakan dan meningkatkan jaringan (networks) dengan pihak lain yang mempunyai kesamaan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai. Networking ini dapat dilaksanakan dengan lembaga yang ada di dalam negeri, maupun di luar negeri. Bekerja secara tim dan kerjasama yang saling menguntungkan akan banyak manfaatnya, misalnya menciptakan inovasi baru, melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, dan sebagainya.
5. Memperluas ’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan Program dan produk perguruan tinggi harus dipasarkan secara luas agar dikenal oleh penggunanya. Hal ini penting karena bagaimanapun baiknya program dan produk yang ada, kalau tidak dikenal masyarakat luas sebagai penggunanya, maka program dan produk tersebut lamban dikenal. Dampaknya, perguruan tinggi tidak atau kurang mendapatkan peminat dan produknya kurang dapat dipasarkan. Berbagai cara dapat ditempuh untuk memperluas ’pasar’ dari program yang dilaksanakan dan produk yang dihasilkan, antara lain:
Banyak publikasi ilmiah yang dimuat di Jurnal, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Banyak dosen yang membawakan makalah ilmiah yang disampaikan di berbagai forum ilmiah, apakah itu seminar, pelatihan, kuliah tamu atau lainnya di tingkatan nasional maupun internasional.
Banyak buku-buku dan karya ilmiah lain yang ditulis oleh dosen.
Banyak berita-berita kegiatan perguruan tinggi yang diliput oleh berbagai mass-media, baik elektronik maupun media cetak.
Banyak dosen yang ditugaskan di berbagai lembaga lain sebagai seconded employees (tenaga pinjaman).
Banyak memproduksi buku, jurnal ilmiah, atau informasi yang lain.
Memperkuat website perguruan tinggi yang bersangkutan dengan selalu memperbaruhi isinya, dan seterusnya.

POLRI DAN RUU KEAMANAN NASIONAL

Oleh: MURADI

Polemik seputar harapan Menteri Pertahanan agar RUU Keamanan Nasional (Kamnas) untuk dapat diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 menjadi titik krusial bagi penataan kelembagaan dalam reformasi sektor keamanan. Usulan RUU Kamnas tersebut sejatinya memberikan gambaran bahwa kebijakan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara masih tambal sulam, tidak komprehensif, dan jangka panjang. Hal tersebut ditandai dengan penolakan Polri, secara kelembagaan untuk ikut terlibat dalam pembahasan. Keberadaan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antar kelembagaan. Dalam UU Pertahanan Negara, lebih banyak mengatur esensi dari tugas TNI, dengan sedikit ’bumbu’ tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri. Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 merasa sudah cukup dengan kemandirian dan profesionalisme selepas pemisahan dengan TNI, menjadikan lembaga pengelola Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) tersebut tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).
Respon negatif dari Polri dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perumusan naskah akademik alternatif RUU Kamnas, serta tidak ada reaksi yang signifikan dari BIN sesungguhnya menggambarkan bahwa usulan RUU Kamnas menjadi domain Mabes TNI, dan Departemen Pertahanan. Bahkan kesiapan TNI dalam perumusan RUU Kamnas tersebut ditandai dengan perubahan doktrin, sebagai bagian dari respon positif lembaga tersebut dengan kehadiran RUU Kamnas. Hal tersebut menegaskan bahwa secara kelembagaan, TNI jauh lebih siap dari dua pengelola keamanan lainnya, bahkan dengan Departemen Pertahanan sekalipun. Artinya perlu juga dipertegas bahwa usulan RUU Kamnas tersebut harus dilandasi pula dengan kesiapan kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Bila keberadaan Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Hukum dan Perundang-undangan sebagai institusi yang terlibat dalam proses mekanisme koordinasi kebijakan, maka kesiapan secara operasional kelembagaan Polri, TNI, dan BIN sebagai pengelola keamanan harus dalam frekuensi yang sama.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa RUU Kamnas yang diusulkan Departemen Pertahanan bersama Mabes TNI relatif masih belum mendesak bila dikaitkan dengan kesiapan lembaga-lembaga pengelola keamanan tersebut. Sebab berbagai ancaman baik dari dalam dan luar negeri masih dapat direspon oleh aktor-aktor pengelola keamanan dengan baik, walaupun miskin koordinasi, dan Alutsista serta Alkom terbatas. Meski secara kelembagaan demokrasi, keberadaan UU Kamnas merupakan prasyarat dari penataan kelembagaan sektor keamanan. Namun bila dikaitkan dengan belum rampungnya reformasi di internal TNI, Polri, dan BIN, maka keberadaan RUU Kamnas bila dipaksakan menjadi undang-undang hanya akan bernasib sama dengan UU Pertahanan Negara.
Kesiapan TNI secara kelembagaan dalam perumusan RUU Kamnas harus dihargai sebagai bagian dari respon agar keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan individu terjamin. Akan tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan satu sistem keamanan yang menyeluruh. Ada titik persinggungan peran dan fungsi dari TNI, Polri, maupun BIN satu dengan yang lainnya. Ancaman terhadap keamanan nasional berasal dari tiga jenis konflik, yakni: konflik antar negara, konflik dalam negeri, dan lintas negara. Ancaman yang datangnya dari luar negara, menjadi domain TNI, sementara keamanan dalam negeri (Kamdagri) dan terselenggaranya kepentingan umum menjadi bagian dan tugas dari Polri. Sedangkan bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia menjadi tugas dan kewajiban TNI dan juga Polri. sementara BIN ataupun lembaga intelijen terkait lainnya menyuplai data dan analisis sebagai deteksi dini berbagai ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Keberadaan UU Keamanan Nasional bila dilihat secara literatur dan praktik kenegaraan modern merupakan suatu keharusan. Dalam pengertian bahwa UU Keamanan Nasional menjadi payung bagi berbagai langkah dan antisipasi terhadap berbagai ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Irama dan koordinasi yang selaras akan memberikan suatu feedback rasa aman bagi negara dan masyarakat dari berbagai bentuk ancaman. Sebab keamanan nasional merupakan perwujudan dari keamanan menyeluruh dari suatu negara, yang menempatkan keamanan sebagai suatu konsep multidimensional yang melibatkan keseluruhan dari aktor keamanan yang mengelolanya.
Keamanan nasional dapat didefinisikan dalam dua persfektif, yakni: pertama, cakupan keamanan nasional terdiri atas pertahanan luar (external defense), keamanan dalam negeri (internal security), public order, serta penanganan bencana alam (disaster relief). Sedangkan persfektif yang kedua melihat dari sudut pandang obyek, yakni keselamatan negara, keselamatan masyarakat, dan keselamatan individu. Kedua persfektif tersebut secara substansi tidak berlawanan, namun justru saling melengkapi. Bahkan juga harus ditegaskan bahwa keamanan nasional juga harus tetap berprinsip pada tiga hal yakni: demokrasi, yakni adanya otoritas sipil, akuntabilitas dean transparan , penghargaan pada hak-hak sipil, serta penggunaan kekerasan merupakan pilihan terakhir.
Skenario dan Reposisi PolriNamun demikian perlu juga ditegaskan bahwa keberadaan RUU Kamnas yang menjadi kontroversi tersebut harus dilihat dalam tataran penataan kelembagaan dalam konteks Reformasi Sektor Keamanan, di mana TNI, Polri, serta BIN ada di dalamnya. Artinya secara kalkulatif Polri harus terlibat dalam perumusan RUU Kamnas tersebut. Sikap yang cenderung reaktif dalam penolakan sesungguhnya mencerminkan lemahnya posisi tawar Polri atas aktor-aktor keamanan lainnya, khususnya TNI. Cepat atau lambat eksistensi Polri dalam kondisi sekarang ini akan digugat oleh banyak pihak, sebab tidak mencerminkan satu mekanisme profesional dalam aliran kebijakan dan operasionalnya. Di banyak negara demokratis, posisi polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.
Hinton mensinyalir bahwa penolakan kepolisian untuk mereformasi, dalam konteks Indonesia lebih pada upaya menata koordinasi antar institusi keamanan merupakan satu permasalahan serius di negara-negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoriterianisme. Dengan kata lain, di tubuh Polri masih mengalir deras kultur dan watak birokrasi yang enggan untuk melakukan perubahan. Terlepas bahwa ada dugaan adanya agenda tersembunyi dari usulan RUU Kamnas dari Departemen Pertahanan tersebut.
Di samping itu harus disadari pula bahwa UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri masih banyak membuka cela bagi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Di sinilah sesungguhnya titik krusial mengapa Polri harus terlibat secara aktif dalam pembahasan RUU tersebut, sambil secara perlahan mengusulkan revisi beberapa pasal dalam UU Polri tersebut menyangkut tentang empat hal, yakni: Pertama anggaran Polri. di dalam UU Polri tidak secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan tentang anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Sehingga dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transparansi pemanfaatan anggaran. Sebagaimana diketahui bahwa sumber dari masyarakat tersebut berupa: Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), dan Partisipasi Masyarakat (Parmas).
Kedua, tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri, selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non-operasional. Sehingga dalam konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan bagian dari penyimpangan. Sebab kodrat polisi di belahan dunia manapun merupakan institusi pengelola keamanan, yang bersifat operasional.
Ketiga, efek dari konsep Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan untuk memberikan bantuan ataupun bentuk subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah akan terintegral dalam konektivitas kelembagaan. Dan Polri secara institusi akan mendapatkan dukungan anggaran operasional di daerah. Sebagaimana diketahui bahwa anggaran Polri tahun 2007 ini sekitar Rp. 18 trilyun tersebut hanya memenuhi sepertiga dari kebutuhan anggaran.
Keempat, revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional, dari sekedar lembaga think-thank presiden menjadi lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap kinerja Polri. Hal ini perlu ditegaskan agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat, seperti Kompolnas Philipina yang mampu membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Di samping itu, perlu ditegaskan beberapa perihal yang perlu ditindak-lanjuti perihal pembahasan RUU Kamnas, yakni: Pertama, sebelum RUU Kamnas dilegalkan menjadi undang-undang, perlu kiranya mempertegas ada jedah waktu untuk memberikan kesempatan pembenahan di internal masing-masing aktor penyelenggara keamanan. Setidaknya revisi UU Polri, dan penyelesaian pembahasan RUU Intelijen harus dipercepat. Hal ini penting agar keberadaan UU Kamnas tidak mubazir, sebagaimana UU No. 3 Tahun 2002, yang tidak bertaji, karena institusi yang diaturnya memiliki masing-masing undang-undang, yang kurang bersinergis dengan UU Pertahanan Negara tersebut.
Kedua, mengubah pola inisiatif perumusan RUU Kamnas, yakni tidak lagi hanya Departemen Pertahanan ataupun Mabes TNI, tapi juga lembaga terkait lainnya. Hal ini dilakukan agar mampu menepis asumsi di internal Polri bahwa usulan RUU Kamnas merupakan cara TNI untuk kembali mensubordinatkan Polri. bisa jadi pola inisiatif kemudian dipegang oleh lintas departemen, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, serta kalangan masyarakat sipil.
Permasalahan apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Persfektif pertama pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional saja, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbihkan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Artinya Polri harus berada di bawah satu departemen yang sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Persfektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauhmana akuntabilitas Plri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dari dua persfektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauhmana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat. Ada lima skenario reposisi Polri dalam UU Kamnas kelak, yakni: Pertama, Polri berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Skenario pertama ini secara realitas sesungguhnya sudah gugur, karena Departemen Dalam Negeri secara kelembagaan tidak siap untuk ’menyusui’ Polri. Dengan berbagai permasalahan tentang dinamika otonomi daerah, sesungguhnya menggambarkan bahwa departemen tersebut tengah merangkai bom waktu dengan adanya aktivitas Linmas dan Satpol PP yang membuat garis koordinasi dengan Polri perihal mewujudkan Kamtibmas cenderung longgar.
Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan HAM. Infrastruktur yang dimiliki oleh departemen ini relatif minim dalam hal penegakan hukum. Memindahkan Polri dengan anggota sekitar 250 ribu dengan berbagai permasalahannya akan membuat departemen tersebut kewalahan dan tidak siap.
Ketiga, Polri di bawah Kejaksanaan Agung. Langkah tersebut sama saja mengakumulasikan kerja penyidikan dan penegakan hukum dalam satu pintu. Sementara sebagaimana diketahui karakteristik kedua institusi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Cenderung akan menciptakan permasalahan baru.
Keempat, membentuk kementerian baru dengan nama Kementerian Keamanan dalam Negeri, di mana unsur Polri menjadi unsur utama, dan bekerja sama secara sistematik dengan Departemen Dalam Negeri, BIN, TNI, dan lembaga terkait lainnya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan keamanan dalam negeri. Dan terakhir, membentuk Departemen Kepolisian atau Kementerian Kepolisian. Langkah ini sebenarnya pernah dicoba pada masa Orde Lama, namun karena konsepsinya berbeda dengan esensi kepolisian demokratik, maka Polri ketika itu menjadi kepanjangan tangan dari penguasa. Namun tidak ada salahnya diujimaterikan kembali, karena kondisi yang berbeda dengan era Soekarno dulu. Di Afrika Selatan pernah terjadi pula di mana Departemen Kepolisiannya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang menerapkan Apartheid.
Dari lima kemungkinan reposisi Polri memberikan gambaran bahwa jadi atau tidak jadinya pembahasan RUU Kamnas, Polri harus mengkaji secara mendalam kemungkinan reposisi tersebut. Hal ini terkait dengan penataan kelembagaan agar Polri dalam Reformasi Sektor Keamanan, tidak lagi ketinggalan dan kebakaran jenggot, dengan akselerasi dan kemajuan ’saudara tua’ tersebut.

RUU KAMNAS DAN POLRI

Oleh: MURADI
dosen tetap Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad,
dan dosen Hubungan Internasional FISIP Unpas.
Peneliti Institute Strategic and Defense Analysis (ISDA) Universitas Pasundan.

PRO-kontra antara Kapolri dengan Menhan serta kalangan akademik dan penggiat LSM seputar RUU Kamnas membuat pembahasan RUU itu terjebak pada tarik-menarik kepentingan. Kapolri menolak pembahasan RUU Kamnas yang cenderung akan mengerdilkan Polri dan menjadi subordinat dari TNI. Kalangan akademik dan LSM melihat bahwa RUU Kamnas cenderung menguntungkan TNI dan Dephan.

Bila dikaitkan dengan inisiatif aktif dari Dephan dan Mabes TNI, hal tersebut makin kentara dengan berbagai rumusan pasal yang mempertegas TNI sebagai institusi yang superior di antara institusi yang lainnya. Meski inisiatif pembahasan RUU Kamnas sudah dilimpahkan ke Menkopolhukam, dugaan adanya agenda tersembunyi dari Dephan dan Mabes TNI belum benar-benar hilang.

Pengusulan RUU Kamnas sejatinya merupakan respons dari ketiadaan payung hukum bagi institusi pengelola keamanan. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antarkelembagaan. Undang-Undang Pertahanan Negara lebih banyak mengatur esensi tugas TNI, dengan sedikit "bumbu" tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri.

Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 kemandirian dan profesionalisme Polri dianggap cukup selepas pemisahan dengan TNI. Namun hal ini menjadikan lembaga pengelola keamanan dalam negeri itu tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus. Hal ini tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).

Respons Polri dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perumusan naskah akademik alternatif RUU Kamnas, serta tidak ada reaksi yang signifikan dari BIN sesungguhnya menggambarkan bahwa usulan RUU Kamnas menjadi domain Mabes TNI dan Dephan. Bahkan kesiapan TNI dalam perumusan RUU itu ditandai dengan perubahan doktrin. Secara kelembagaan, TNI jauh lebih siap dari dua pengelola keamanan lainnya, bahkan dengan Dephan sekalipun.

Reposisi Polri
RUU Kamnas tersebut harus dilihat dalam tataran penataan kelembagaan dalam konteks reformasi sektor keamanan, di mana TNI, Polri, serta BIN ada di dalamnya. Artinya Polri harus terlibat dalam perumusan RUU Kamnas tersebut. Sikap yang cenderung reaktif dalam penolakan mencerminkan lemahnya posisi tawar Polri atas pelaku keamanan lainnya, khususnya TNI. Cepat atau lambat eksistensi Polri ini akan digugat oleh banyak pihak, sebab di banyak negara demokratis, posisi polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.

Ada dugaan bahwa penolakan Polri merupakan satu permasalahan serius di negara-negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoriterianisme. Dengan kata lain, di tubuh Polri masih mengalir deras kultur dan watak birokrasi yang enggan berubah, terlepas dugaan adanya agenda tersembunyi dari usulan RUU Kamnas dari Dephan tersebut.

Harus disadari pula bahwa UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri masih banyak membuka celah bagi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Di sinilah sesungguhnya titik krusial mengapa Polri harus terlibat aktif dalam pembahasan RUU Kamnas tersebut, sambil secara perlahan mengusulkan revisi beberapa pasal dalam UU Polri tersebut menyangkut tentang empat hal, yakni:
Pertama, anggaran Polri. Undang-Undang Polri tidak secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah dalam akuntabilitas dan transparansi. Sebagaimana diketahui bahwa sumber dari masyarakat tersebut berupa: "Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), dan Partisipasi Masyarakat (Parmas)."
Kedua, tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan kebijakan non-operasional. Dalam konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan penyimpangan. Polisi di belahan dunia mana pun merupakan pengelola keamanan yang bersifat operasional.
Ketiga, konsep Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan untuk membantu atau menyubsidi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah akan terintegrasikan dalam konektivitas kelembagaan. Dan Polri secara institusi akan mendapatkan dukungan anggaran operasional di daerah.
Keempat, revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dari sekadar lembaga think thank presiden menjadi lembaga yang menjembatani masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap Polri, agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat, seperti Kompolnas Filipina yang mampu membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang, sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Perspektif pertama, pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbikan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Memaksakan Polri di bawah satu departemen sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena watak korporat Polri akan mengganggu pada konsolidasi departemen terkait.

Perspektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di mana pun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, untuk tetap di posisi seperti sekarang peluangnya besar, selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.

Dari dua perspektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauh mana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat. Ada lima skenario reposisi Polri dalam UU Kamnas kelak, yakni:
Pertama, Polri berada di bawah Depdagri. Skenario pertama ini sesungguhnya sudah gugur, karena Depdagri tidak siap untuk "menyusui" Polri. Dengan berbagai permasalahan tentang dinamika otonomi daerah, departemen tersebut tengah merangkai bom waktu dengan adanya aktivitas Linmas dan Satpol PP yang menyebabkan koordinasi dengan Polri cenderung longgar. Di samping itu, kepolisian kita lahir dari suasana perang, sehingga ketika terintegrasikan ke Depdagri, maka permasalahan yang kemudian muncul akan makin kompleks.

Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan HAM. Infrastruktur penegakan hukum yang dimiliki oleh departemen ini relatif minim. Memindahkan Polri dengan anggota sekitar 250 ribu orang dengan berbagai permasalahannya membuat departemen tersebut kewalahan dan tidak siap. Bahkan disinyalir, ongkos sosial untuk mengintegrasikan Polri ke departemen ini akan membengkak, karena cenderung membangun dari awal berbagai fasilitas pendukungnya.
Ketiga, Polri di bawah Kejaksaan Agung. Langkah tersebut sama saja mengakumulasikan kerja penyidikan dan penegakan hukum dalam satu pintu. Sementara sebagaimana diketahui karakteristik kedua institusi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Penggabungan ataupun mengintegrasikan Polri di Kejaksaan Agung akan menciptakan permasalahan baru, terkait pada tugas-tugas penegakan hukum dan penyidikan antara kedua institusi tersebut, khususnya pada kasus-kasus politik dan ekonomi tingkat tinggi.

Keempat, membentuk kementerian baru dengan nama Kementerian Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), di mana unsur Polri menjadi unsur utama, dan bekerja sama dengan Depdagri, BIN, TNI, dan lembaga terkait lainnya. Keberadaan kementerian baru tersebut setidaknya akan membantu tugas Menkopolhukam dalam hal koordinasi dan antisipasi berbagai permasalahan yang terkait di dalam negeri, seperti pada konflik Poso, Papua, hingga konflik komunal lainnya. Hanya saja kelemahan dari pembentukan kementerian tersebut ada pada pemosisian Polri yang cenderung akan sangat dominan, apalagi bila sudah ditegaskan adanya UU Kamdagri.

Kelima, membentuk departemen kepolisian. Langkah ini sebenarnya pernah dicoba pada masa Orde Lama, namun karena konsepsinya berbeda dengan esensi kepolisian demokratik, maka Polri ketika itu menjadi kepanjangan tangan penguasa. Namun tidak ada salahnya diujimaterikan kembali, karena kondisi yang berbeda dengan era Soekarno dulu. Di Afrika Selatan, departemen kepolisiannya merupakan kepanjangan tangan penguasa apartheid. Sesungguhnya keberadaan departemen kepolisian ataupun kementerian kepolisian merupakan solusi terbaik agar Polri tidak memiliki dua fungsi: perumusan kebijakan dan operasional. Di samping itu, ongkos sosialnya pun hampir tidak ada.

Dari lima kemungkinan reposisi Polri memberikan gambaran bahwa jadi atau tidaknya pembahasan RUU Kamnas, Polri harus mengkaji secara mendalam kemungkinan reposisi tersebut. Hal ini terkait dengan penataan kelembagaan agar Polri dalam reformasi sektor keamanan, tidak lagi ketinggalan dan kebakaran jenggot dengan akselerasi dan kemajuan "saudara tua" tersebut.***

REVITALISASI POLRI

Oleh: KASTORIUS SINAGA
Pengajar Pascasarjana UI,
Pernah Meneliti Masalah Kepolisian untuk Asian Development Bank

Di tengah gelombang reformasi, Kepolisian Negara RI adalah salah satu institusi negara yang paling kerap mendapat sorotan dan kritik tajam.

Polisi sering dicap lalai memberi perlindungan kepada masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum, bahkan dipandang sarat dengan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) akibat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktik ini ditengarai telah melembaga di tubuh Polri.

Maka, seiring dengan upaya serius Presiden RI yang kini sedang menabuh genderang perang melawan public enemy, mulai dari narkoba, korupsi, judi, penyelundupan, hingga kriminal perbankan, pertanyaan sederhana segera mencuat. Mampukah Polri merevitalisasi diri untuk berfungsi sebagai instrumen negara bagi kebangkitan Indonesia baru?

Pertanyaan reflektif ini mendorong kita untuk memahami lebih dekat proses reformasi berikut arah revitalisasi Polri yang dibutuhkan ke depan. Lebih jauh, hal ini akan berguna untuk meyakinkan kita bahwa paradigma Bring The State Back In, yang saat ini diadopsi pemerintahan SBY, benar-benar ditopang oleh sejumlah institusi pelaksana kekuasaan negara seperti Polri.

Bukan barang baru
Keberadaan Polri amat kental dan erat dengan denyut sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, keberadaan Polri terpecah di bawah dua institusi dengan fungsi utama sebagai bodyguard kekuasaan kolonial.

Setelah proklamasi, September 1945, untuk pertama kali kepolisian direformasi menjadi satu institusi bernama Lembaga Kepolisian Negara, yang berada di bawah Menteri Dalam Negeri.

Ketika fungsi utama Polri sebagai pembantu TNI melawan agresi Belanda, pada 1 Juli 1946, yang kemudian dikenal menjadi hari jadi Polri, tongkat komando Kepolisian Negara dialihkan dari Mendagri untuk langsung di bawah Perdana Menteri. Baru tahun 1961, saat UU kepolisian pertama keluar (UU No 13/1961), lembaga kepolisian diintegrasikan ke dalam institusi TNI guna mendukung operasi militer menumpas gerakan separatis daerah. Integrasi ini berlanjut sehingga memosisikan kepolisian sebagai angkatan keempat TNI selama empat dekade.

Dari sini kita belajar, reformasi kelembagaan bukanlah barang baru bagi kepolisian. Namun, reformasi yang diikuti alih tongkat komando kepolisian amat erat dengan soal penggiringan fungsi kepolisian seiring dengan lingkungan politiknya.

Oleh karena itu, independensi Polri sebagai lembaga penegak hukum merupakan area yang sensitif hingga sekarang. Tak mengherankan pada awal tahun ini masyarakat sempat heboh menanggapi usulan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang hendak mengakuisisi Polri ke dalam Dephan dalam rangka RUU Hankamneg.

Meski segera diklarifikasi, pada intinya, tiap ide yang mencoba menggiring kembali institusi kepolisian ke zona militer akan dianggap sebagai langkah mundur bagi perwujudan cita-cita rechstaat.

Revitalisasi organisasi
Sejak tahun 1999, ketika Presiden Habibie memisahkan Polri dari TNI dan langsung di bawah komando Presiden hingga kini, Polri sudah banyak diubah. Bukan saja nomenklatur kepangkatan yang diganti, tetapi juga lanskap struktur organisasi Polri di pusat berubah menjadi sama seperti departemen teknis biasa.

Hal itu antara lain dimaksudkan untuk mengurangi karakter militeristik yang begitu kental melekat di tubuh Polri. Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah Polri, lewat UU No 2/2002, prinsip-prinsip penghargaan terhadap nilai-nilai HAM diadopsi di dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum, penjaga ketertiban, keamanan, dan pengayom masyarakat.

Oleh karena itu, masalah rendahnya kinerja dan profesionalitas Polri bukan lagi berakar pada kelemahan landasan hukum, rentang kendali organisasi, atau independensi institusinya. Namun sebenarnya letak masalah terlebih pada masalah-masalah internal manajemen Polri.

Manajemen Polri boleh dikata kacau-balau bila diukur dari prinsip-prinsip organisasi modern. Ia amat sentralistik, superbirokratis, tidak transparan, dan kurang akuntabel meski di era globalisasi dan otonomi daerah sekarang ini masalah-masalah sosial, tantangan, bahkan kejahatan kian terdesentralisasi dengan pelaku bersifat lintas negara.

Gerak fungsi Polri menjadi lamban dan tidak dipandu dengan target dan strategi yang terintegrasi dengan baik dan terukur hingga ke unit paling bawah di tingkat polsek. Data menunjukkan bahwa kasus kejahatan (the most frequent crimes) melonjak tajam akibat krisis multidimensi yang melanda negara ini.

Pengelolaan secara optimal SDM Polri dalam sistem manajemen modern amat diperlukan. Ironisnya, meski reformasi Polri pada tahun 2002 telah memungkinkan jumlah perwira menengah dan tinggi melonjak drastis, tetapi mereka terkonsentrasi hanya di pusat. Data menunjukkan, dari 137 polisi dengan pangkat jenderal, 102 (75 persen) terkonsentrasi di mabes Jakarta. Sisanya tersebar ke seluruh provinsi.

New leadership
Terpilihnya Jenderal Sutanto untuk memimpin Polri menuai harapan akan revitalisasi Polri ke depan. Terlebih dengan lingkungan nasional dan global yang begitu drastis berubah, pekerjaan rumah kepolisian kian menumpuk tak sebanding dengan jumlah personel, kelengkapan, dan kualitas prasarananya.

Kita akui, revitalisasi ini bukan segampang membalik tangan. Hanya dengan figur kepemimpinan yang tegas, bersih, dan konsistenlah yang mampu meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri selaku ujung tombak penegakan hukum serta pengayom masyarakat dari segala bentuk kejahatan.