Senin, 02 Juni 2008

Paradigma Baru Polri Masa Depan

Oleh: Gendhotwukir
Mahasiswa Filsafat dan Teologi di Philosophisch-Theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.

Menyimak tulisan saudara Anang Fatkhurozi “Polri v Rakyat” ( 6/7) ada dua poin penting yang perlu ditanggapi atau lebih tepatnya diperdalam. Pertama, menyangkut figur polisi. Kedua, menyangkut trauma dan ketidakpercayaan masyarakat akan kehadiran sosok polisi.

Opini saudara Anang Fatkhurozi nampak kurang obyektif dalam menggagas sebuah persoalan. Tuntutan-tuntutan yang dilontarkan ke lembaga kepolisian kurang diimbangi dengan tuntutan atau harapan pihak kepolisian terhadap masyarakat, sehingga melalui tulisan tersebut terkesan masyarakat tahunnya hanya menuntut tanpa mau berperan aktif terlibat dalam penegakan hukum dan perwujudan etika profesi seorang polisi.

Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 telah dengan gamblang menyebutkan peran polri sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Tuntutan mendasarnya adalah bahwa setiap kiprah dan tindakan anggota polri haruslah dijiwai semangat dan sifat kepribadian seorang pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Etika profesi seorang polisi memang sudah saatnya digagas secara lebih mendalam, sejalan pergeseran paradigma baru tugas pengabdiannya. Pergeseran paradigma pengabdian yang dimaksud adalah pergeseran dari polri sebagai alat penguasa ke pengabdi kepentingan masyarakat. Pergeseran dari polri sebagai alat penguasa dengan otoritas “TUMPAS” ke sosok pribadi yang mengemban kepercayaan untuk melindungi dan melayani masyarakat dengan pendekatan moral dan akal budi.

Gagasan penting dari Roy R. Roberg dalam bukunya “The Changing Police Rolle, New Dimensions and New Issues” (California, 1976) dan Das K. Dilip dalam bukunya “Police Practices An International Review” (London, 1994) adalah perlu dikedepankannya perubahan style (gaya) dalam bertugas. Perubahan penampilan sikap yang kaku ke arah penampilan yang luwes dan fleksibel, perubahan dari perilaku berlagak sangar dan sok penguasa di jalan raya, ke perilaku ramah, murah senyum dan siap sedia melayani.

Membaca visi dan misi calon Kapolri yang baru, Komisaris Jenderal Sutanto, tumbuh harapan baru. Sutanto mencita-citakan figur polri yang profesional dan bermoral. Dalam hal ini ia mengagendakan peningkatan sumber daya manusia yang ada di polri. Salah satunya adalah diusulkannya pendidikan taruna Akademi Kepolisian (Akpol) sampai ke jenjang strata satu (S1). Agenda yang cukup bagus.

Program pendidikan dan pelatihan memang perlu mendapat perhatian utama khususnya dalam membentuk mental dan watak Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Lantas tidaklah berlebihan jika masyarakat juga menuntut perlu diagendakannya pendidikan yang berwawasan humaniora dan sosial bagi taruna Akpol seperti filsafat etika, sosiologi, psikologi, dsb dalam agenda pendidikan juga tersebut. Dengan demikian akan terbentuklah generasi muda Polri yang tidak hanya profesional, tetapi juga sungguh mengetahui tuntutan masyarakat, bermoral dan humanis.

Profesionalisme tentu saja erat berkaitan dengan mutu, kualitas dan tidak tanduk si pemegang profesi (polisi). Tidak hanya terampil memainkan pistol dan pentung, tetapi juga terampil bergaul secara harmonis dengan masyarakat. Dengan mengetahui tuntutan masyarakat, dimaksudkan seorang polisi hendaknya memiliki sifat realistis dan kritis sehingga mampu mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat dan tuntutannya. Bermoral berarti mengetahui yang baik dan benar sesuai kacamata hukum, akal budi dan terang hati nurani. Dan sosok polisi yang humanis berarti ia mampu memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik dengan masyarakat berdasarkan asas-asas peri kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia.

Di sisi lain, tuntutan yang demikian tentu saja perlu diimbangi peran aktif masyarakat dalam mewujudkan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan damai. Masyarakat sebagai mitra sejati Polri hendaknya juga berperan aktif menjunjung tinggi Undang- Undang yang berlaku. Di Era Reformasi ini, masyarakat dituntut juga untuk bersikap kooperatif dan sadar hukum. Diberlakukannya Undang-Undang tertentu pada dasarnya telah dipertimbangkan dengan seksama dan secara essensial karena memiliki tujuan yang baik. Hanya di lapangan memang ada oknum yang kabur hukum. Hukum diciptakan untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum karena masyarakat bukan budak hukum.

Diberlakukannya peraturan lalu lintas, tentu saja karena secara essensial peraturan tersebut memiliki tujuan baik untuk setiap pengemudi dan pengendara. Kewajiban mengenakan helm ketika sedang mengendarai sepeda motor tentu saja tidak dimaksudkan untuk gaya-gaya saja, melainkan erat kaitannya dengan kenyamanan dan keselamatan si pengendara manakala terjadi kecelakaan. Kaca spion, lampung reting, lampu depan dan lampu belakang tidak dimaksudkan untuk aksesoris, tetapi erat berkaitan pula dengan kenyamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas.

Anehnya, sudah ada aturan yang demikian, ada sebagian kecil anggota masyarakat yang malahan tidak berlomba-lomba untuk melengkapi diri, tetapi berpura-pura buta aturan. Sudah tahu resiko tidak melengkapi diri akan ditilang, setelah kena tilang mengeluh. Siapa yang salah? Khan salah sendiri. Kenapa kita tidak berlomba-lomba melengkapi diri dalam berlalu lintas sehingga pak polisi tidak punya alasan untuk menilang kita? Tentu saja ini hal ini perlu dibedakan dengan oknum polisi yang mencari-cari alasan untuk menilang. Dengan kata lain sebenarnya kesadaran sebagian kecil masyarakat terhadap hukum juga masih lemah.

Trauma dan ketidakpercayaan masyarakat akan akan sosok polisi karena pengalaman gelap dan suram masa lalu tentu saja bisa disembuhkan dan dipupuk dengan cara membuka diri terhadap nilai-nilai gelombang reformasi dan realita bahwa polri juga mulai berbenah diri. Reformasi diri untuk berkesadaran hukum menjadi penting seiring tuntutan-tuntutan kita akan reformasi etika profesi polri.

Masyarakat dan polri sudah tidak saatnya lagi diletakkan pada kutup yang berlawanan. Masyarakat adalah mitra kerja Polri. Membangun etika profesi polisi (polri) dan reformasi diri (masyarakat) untuk sadar hukum adalah elemen dasar yang mendesak perlu segera diwujudkan.

1 komentar:

dylan mengatakan...

saya bangga dg bapak polri masa depan tetapi masih banyak pilisi yg seolah tutup mata dan melindungi kejahatan yg jelas2 didepan atou kehidupan masyarakat , contohnya dgn adanya praktek aborsi di "KLINIK DR. SARSANTO " dgn alamt Jl. Paseban Timur No 61 Jakarta Pusat polisi wilayah maupun Polda malah banyak ngantri oknumnya minta jatah minggua dan bulanan,. bagaimana sebagai Polisi MASA DEPAN YG PUNYA PAYUNG HUKUM UNTUK MENUMPAS MALAH SEBALIKNYA MELINDUNGI" kami masyarakat tidak perlu janji tetapi bukti nyata tindakan hukum yang ada dan Polri yang berwenang tidak pernah bertindak apakah itu harapan masyarakat indonesia bisa berharap untuk hal yang merusak moral anak bangsa aja dengan pelanggaran Aborsi yang dilakukan dimuka umum aja tidak bisa ditanggulangi atau dikerjakan apalagi yang pelanggaran berat????????