Kamis, 23 Agustus 2007

RUU KAMNAS DAN LANGKAH POLITIK

Oleh: Boni Hargens
pengajar Ilmu Politik UI,
Direktur Bidang Riset PARRHESIA Institute for Nation-State Building
Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang sudah masuk ke Komisi III DPR RI kini menuai badai. Ada kesan ini konflik antara Dephan dan TNI di satu pihak dan Polri di pihak lain. Tarik ulur soal RUU ini terkait sejumlah pasal yang mengatur soal posisi Polri di bawah salah satu departemen (Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan HAM) dan atau di bawah Kejaksaan Agung. Dulu di masa kemerdekaan, ketika Kapolri pertama Jenderal RS Soekanto dilantik Presiden Soekarno pada 29 September 1945, Polri berada di bawah Depdagri. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 1946, Polri menjadi lembaga setingkat departemen, berada langsung di bawah perdana menteri bersama kejaksaan dan kehakiman. Tetapi apakah ini persoalan historis ataukah legal-konstitusional? Kalau historis, apa hubungannya dengan upaya penegakan profesionalitas dan kemandirian Polri? Kalau konstitusional, mengapa bukan UU No 2 tahun 2002 tentang Polri saja yang dibenahi sehingga tidak perlu ada polemik seperti ini?Kini sudah terbuka, bahwa RUU Kamnas mau menempatkan otoritas politik sebagai penentu operasional pelaksanaan pertahanan dan keamanan nasional. Memang bagus bahwa perlu ada satu mekanisme koordinasi yang komprehensif antara TNI, polisi, bea cukai, imigrasi, dan instansi lain yang terkait masalah keamanan nasional. Tetapi di tengah kondisi tentara kita yang masih praetorian, bayangan buruk masa lalu yang masih jelas, apa jaminan bahwa ke depan Polri dan TNI tidak diseret ke pusaran politik praktis?Ada dua alasan penolakan reposisi Polri sebagaimana dimaksud dalam RUU Kamnas. Pertama, dengan memosisikan Polri di bawah salah satu departemen, maka besar peluang Polri akan diintervensi oleh kepentingan politik kekuasaan (baca: kepentingan pemerintah yang relevan dengan departemen yang membawahi Polri). Kedua, pada hakikatnya Polri adalah suatu institusi resmi negara yang sifatnya independen. Independensi Polri diterjemahkan melalui posisinya yang berada langsung di bawah presiden sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika reposisi sebagaimana tersurat dalam RUU Kamnas itu diimplementasikan, serentak independensi Polri hilang. Lantas, bagaimana mungkin Polri bisa menjadi mitra masyarakat yang siap-sedia melayani seluruh masyarakat tanpa dikotomi politik ataupun unsur-unsur lain yang bernuansa politis? Menyambung dua alasan mendasar di atas, ketidaksetujuan Polri terhadap materi RUU Kamnas masuk akal bila dikaitkan dengan pertarungan politik 2009. Tahun depan, 2008, pertarungan ini sudah mulai panas. Masing-masing kekuatan akan memaksimalkan potensi mengerahkan dukungan. Dalam konteks ini, reposisi TNI dan Polri di bawah departemen patut dicurigai sebagai langkah politik. KeniscayaanDengan demikian, masyarakat tidak lagi diayomi oleh kepolisian yang benar-benar independen atau tidak lagi dilindungi oleh tentara yang netral. Terkait ini semua, terjadinya kontroversi dan polemik mengenai RUU Kamnas ini merupakan keniscayaan. Apalagi ada selentingan bahwa RUU Kamnas adalah hasil pemikiran Departemen Pertahanan karena proses perumusannya tidak pernah melibatkan Polri sebagai sebuah institusi. Tim Kelompok Kerja (Pokja) Pembahasan RUU Kamnas dan Dephan jelas menolak tuduhan macam ini. Apapun itu, yang pasti perlu ada keterbukaan antara kedua kubu yang bertikai ini dalam membahas masalah keamanan nasional ini. Memang ada sebagian kalangan sipil yang tidak peduli Polri ditempatkan di mana. Polri ditempatkan di bawah Departemen Dalam Negeri atau di bawah Departemen Pertahanan atau di bawah Departemen Hukum dan HAM, atau tetap di bawah presiden, yang penting bagi rakyat adalah Polri mampu meningkatkan pelayanannya. Tentu ini yang benar, karena substansi dari perubahan undang-undang adalah peningkatan profesionalisme dan pelayanan aparatur negara, seperti Polri, bagi masyarakat. Tetapi itu tidak berarti reposisi Polri ini bukan persoalan serius yang menyangkut kepentingan masyarakat. Kalau Polri diintervensi oleh kepentingan politik, Polri otomatis tidak bisa bertindak independen.Harus dipahami secara jernih dan komprehensif bahwa salah satu persoalan kebangsaan di kekinian Indonesia, yaitu intensitas dan ekstensitas konflik (horizontal dan vertikal) dan krisis multidimensional yang besar peluang tetap eksis di masa mendatang. Maka dari itu, persoalan RUU Kamnas mesti disikapi dengan senantiasa mempertahankan kepentingan bangsa dan masyarakat sebagai yang utama. Sudah seyogianya, kepentingan nasional (national interest) diletakkan jauh di atas kepentingan subjektif pribadi, kelompok, golongan atau pun institusi. Dengan cara ini, pemerintah akan dinilai tidak memiliki kepentingan langsung, independen, dan imparsial jika kelak RUU Kamnas itu disahkan menjadi UU Kamnas. Sangat diharapkan, pemerintah bersikap bijak dalam menyikapi RUU Kamnas ini karena masyarakat melihat dan menilai setiap langkah dan tindakan yang diambil pemerintahnya. Bila perlu pemerintah mengajak masyarakat terlibat dalam menentukan sikap, dimana sebaiknya Polri ditempatkan.

Tidak ada komentar: