Kamis, 23 Agustus 2007

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh: Asian Human Rights Commission

Sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. Apakah undang-undang tersebut akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. Undang-undang itu sendiri, bagaimanapun, menunjukkan beberapa permasalahahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut.

Di pengadilan-pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititikberatkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. Dalam beberapa contoh, aparat kepolisian dipandang buruk dan aktifitas kepolisian dapat saja menghadirkan ancaman daripada perlindungan.

Di negara lain, ketidakhadiran sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Di Sri Lanka, beberapa kasus diketahui bahwa para saksi dibunuh untuk menghentikan mereka bersaksi di persidangan. [2], [4] Di Filipina, kondisi serupa juga terjadi. [5] Berharap agar para saksi hadir di persidangan untuk memberikan keterangan di bawah kondisi semacam itu jelas merupakan hal yang langka.

Siapa yang dilindungi?
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang “melihat, mendengar,atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. (Pasal 1 ayat (1)) Dalam beberapa kasus, bagaimanapun, orang-orang akan lebih takut untuk melapor suatu tindak pidana. Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimdasi dan ancaman. Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan atau menyediakan bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis LSM dan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Secara khusus, seseorang yang karena “menyediakan informasi tanpa adanya itikad baik” tidak mendapatkan perlindungan (Pasal 10 ayat (3)). Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian semacam itu dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar. AHRC menyambut dimasukkannya anggota keluarga saksi dan korban ke dalam skema perlindungan saksi dari LPSK. Tetapi, sebagai tambahan, seluruh saksi yang dapat menyediakan bukti-bukti, tanpa melihat hubungan mereka dengan kasus tersebut, seharusnya juga dapat dimasukkan ke dalam undang-undang ini.

Akses untuk kebijakan perlindungan saksi
Bagi seseorang yang dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi dari LPSK, harus mendapat kepastian bahwa mereka akan diproses secara tepat waktu. LPSK diberikan waktu selama 7 hari untuk menanggapi, tetapi tidak ada ketentuan apapun yang dikeluarkan untuk mempercepat persyaratan-persyaratan tersebut dalam kasus-kasus yang sifatnya darurat, seperti pelanggaran HAM yang melibatkan pembunuhan oleh aparat militer atau personil kepolisian. Terlebih lagi, hak untuk mendapatkan asistensi medis dan rehabilitasi psikologi hanya dapat diterapkan pada korban pelanggaran HAM saja, sementara korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak termasuk untuk asistensi dan perlindungan semacam itu.

Berdasarkan Pasal 28 undang-undang tersebut, kondisi untuk perlindungan didasarkan pada pentingnya pemberian informasi oleh saksi atau korban, tingkatan ancaman, hasil asistensi medis dan analisa psikologis, dan catatan criminal saksi tersebut. Tidak disebutkan dalam undang-undang, mengenai motif di balik pengancaman, maupun indikasi apapun yang dibuat dalam hal mana aspek-aspek pendampingan akan diperlukan.

Untuk mengakhiri kebijakan perlindungan, bukti meyakinkan adanya ketidakamanan bukan syarat mutlak. Tanpa adannya bukti seperti itu, setiap petugas yang berwenang dapat saja mengakhiri perlindungan saksi yang dimohonkan oleh petugas yang sama. (Pasal 32 angka 1b)

Langkah-langkah perlindungan
Perlindungan dalam undang-undang dipahami dalam bahasa yang kabur, seperti misalnya “memberikan rasa aman“ (Pasal 1 angka 6). Hal itu, bagaimanapun, termasuk ”segala jenis ancaman yang berhubungan dengan kesaksian”. (Pasal 5 angka 1a). Ketentuan spesifik termasuk hak saksi atau korban untuk memperoleh identitas baru, relokasi, nasihat hukum, dan bantuan biaya hidup sementara, (Pasal 5 angka 1) tetapi tidak secara mutlak memerlukan relokasi ke luar negeri atau mendapatkan pekerjaan baru bagi saksi atau korban sebagaimana lazim terjadi di yurisdiksi Negara lain.

Tidak satupun ketidakjelasan yang berada dalam daftar bentuk-bentuk perlindungan diperjelas dengan penjelasan prosedural atau Petunjuk Pelaksanaan. Kenyataannya, implementasi perlindungan itu sendiri – menjadi sebuah kunci penting bagi LPSK – bahkan tidak tersentuh dalam undang-undang tersebut dan dengan demikian membuka segala macam interpretasi atasnya dan pelaksanaan yang sewenang-wenang. Sebagai perbandingan, lihat section 8 mengenai Peraturan Perlindungan Saksi Hong Kong, mengatur tentang pemberian identitas baru yang mengelaborasikan antara prosedur dengan peraturan. [6] Terlebih, pelaksanaan serupa dengan itu dari hukum Indonesia, tidak memberikan jaminan bagi para saksi dan korban.

Lebih jauh lagi, tata letak dalam ruang persidangan Indonesia yang menempatkan korban, secara simbolis, terjebak dalam posisi antara penuntut umum dan terdakwa, sambil menghadap ke arah Majelis Hakim, sedikit banyak mempengaruhi “rasa aman”-nya, dan dapat, sebagaimana dalam kasus-kasus di Negara lainnya, memberikan dampak yang layak dipertimbangkan bagi kesediaan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan. [3] Kenyataannya, dengan atau tanpa Undang-Undang Perlindungan Saksi, kebanyakan saksi tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan. Citra bersaksi di ruang persidangan cukup “menakutkan” bagi para saksi. Mereka akan berpikir dua kali apabila mereka ingin bersaksi.

Siapa yang melindungi?
Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasal 36 ayat (1) yang memberikan mandat kepada LPSK untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”. Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan LPSK, sesuai dengan kewenangannya. Di negara lainnya, instansi seperti itu, termasuk kepolisian, angkatan bersenjata, departemen tertentu seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum. Di Indonesia, indikasi semacam ini tidak jelas. Undang-undang tersebut juga menghindari untuk mengklarifikasi prosedur komunikasi dan tugas antar instansi. Oleh karena itu, birokrasi yang berkepanjangan dan masalah prosedural yang berbelit-belit hampir pasti akan dihadapi.

Tidak ada persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang bagi para anggota LPSK dalam hal pelatihan profesional. Namun, Pasal 11 ayat (3), menyatakan bahwa LPSK akan memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Jika hal tersebut membuat kepolisian terlibat dalam perlindungan sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang, keselamatan para saksi hampir pasti tidak dapat terjamin, secara khusus dimana kebanyakan pelaku dalam kasus pelanggaran HAM adalah kepolisian. Pendirian kantor cabang, di atas segalanya, tentu diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana pelanggaran HAM serius sering terjadi, seperti Aceh, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi.

Undang-undang juga tidak merujuk pada hak apapun bagi para korban atau saksi untuk memilih divisi lain di kepolisian untuk melaksanakan langkah-langkah perlindungan, begitu kepolisian ditugaskan untuk melaksanakan tugas perlindungan. Hal ini penting dalam kasus dimana petugas kepolisian di daerah biasanya menjadi pelaku pelanggaran HAM. Perlindungan saksi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent Commission against Corruption) (ICAC), sebagai contoh pelaksanaannya dilakukan oleh divisi khusus tersendiri.

Independensi
LPSK bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 13 ayat (1)), Susilo Bambang Yudhoyono. Dia memiliki kewenangan dalam seleksi untuk pertama kali dan juga penetapan anggota (Pasal 19) dan satu-satunya pejabat yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan peraturan mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota. (Pasal 25). Di bawah ketentuan tersebut, Presiden sendiri bahkan dapat memecat anggota LPSK berdasarkan wewenang diskresinya.

Mengingat Presiden diberikan kekuasaan untuk menentukan pemegang mandat LPSK, undang-undang tersebut jelas mengandung kelemahan ketika dihadapkan pada kasus dimana terjadinya konflik kepentingan dari Presiden atau pejabat senior lainnya, di bawah “perlindungannya”.

Staf
Tidak adanya political will dari pemerintah akan menyebabkan LPSK tidak berdaya sekalipun jumlah kasus yang dihadapi sedikit jumlahnya. Ketujuh anggota pimpinan LPSK memiliki tanggung jawab atas 235 juta penduduk Indonesia. Sekretaris LPSK yang diangkat oleh Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa selanjutnya harus merekrut anggota lembaga dalam jumlah yang signifikan. Undang-undang tersebut menyediakan pada setiap warga negara hak yang sama untuk permohonan perlindungan. Lebih dari ratusan kasus diharapkan dapat ditangani oleh LPSK dan setiap dari kasus-kasus tersebut memerlukan penilaian kualitatif dan menyeluruh. Hanya dalam ketentuan seperti itulah kinerja LPSK akan berjalan secara efektif. Hingga kini, ketentuan pendanaan masih belum jelas. Akibatnya, belum ada satupun anggota LPSK yang telah terpilih, dan seluruh institusi itu sendiri masih belum berdiri sepenuhnya. Minimnya persiapan selama tiga bulan terakhir menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih belum secara tulus berkomitmen untuk melaksanakan ketentuan undang-undang.

Rekomendasi
Bagaimana public dapat diberitahu mengenai akses dan ketentuan-ketentuan mengenai lembaga baru itu? Undang-undang yang telah disahkan hanya menyediakan permohonan tertulis yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga. Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent Commission against Corruption), sebagai contoh, menyediakan akses melalui telepon, email atau kontak langsung 24 hour access. Presiden memegang kekuasaan besar dalam menentukan bagaimana lembaga ini akan bekerja dan beroperasi, secara khusus dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggotanya. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mandate pengawasan lebih dalam harus diberikan kepada pemegang saham dari kalangan organisasi non-pemerintah.

Pendanaan harus dibiayai dari anggaran Negara, berdasarkan Pasal 27, sementara untuk saat ini tidak ada ketersediaan sumber daya yang disediakan bagi lembaga untuk memulai pekerjaannya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagai contoh, telah mengalami beberapa permasalahan dalam kerjanya karena mendapatkan dana yang minim dari pemerintah dan oleh karena itu belum mampu secara optimal melakukan tugas-tugasnya, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Jika LPSK menghadapi kendala yang sama, maka hal itu hanya akan menambah panjang deretan permasalahan sebuah peraturan yang tidak implementatif.

Kesimpulan
Undang-undang ini sepertinya dibuat secara khusus untuk memberantas kasus-kasus korupsi, daripada lebih untuk melengkapi lembaga dengan langkah-langkah kebijakan perlindungan untuk mengatasi kasus-kasus yang darurat sifatnya dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kasus seperti itu memerlukan perhatian yang secepatnya, terutama mengingat bahwa pelanggaran semacam itu kebanyakan dilakukan oleh aparat Negara. Dalam kasus pembunuhan di luar hukum, sebagai contoh, ancaman serius terhadap korban dan saksi, yang memerlukan intervensi sesegera mungkin; mereka tidak dapat menunggu lamanya prosedur perlindungan hingga ditetapkan dalam peraturan.

Seringkali sebuah undang-undang mengacu pada ketiadaan Peraturan Pemerintah tanpa memberikan klarifikasi mengenai ruang lingkup peraturan dalam hal kompensasi terhadap korban dan saksi atau tugas dan tanggung jawab sekretaris LPSK. Hal ini meninggalkan celah besar untuk “mengalahkan” tujuan utama pembentukan undang-undang ini, dan kenyataannya secara perlahan-lahan akan mematikan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-undang ini dengan tidak jelasnya pengaturan-pengaturan dan absennya komitmen pendanaan, tidak menghadirkan sebuah kerangka untuk institusi yang independen dan stabil yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi. Dalam kasus Indonesia, undang-undang ini tidak cukup untuk memenuhi tuntutan dari para korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya atas sebuah system peradilan yang adil di sebuah Negara yang dihantam dengan impunitas dan struktur komando yang korup dan tidak efisien di aparat kepolisian, militer dan sistem penuntutan.

Referensi
[1] Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Antikorupsi.org
[2] Pembunuhan terhadap seorang saksi di Sri Lanka – kasus Gerald Perera: UA-157-2004
[3] Perlindungan Saksi di Thailand – Laporan Khusus URL http://www.article2.org/pdf/v05n03.pdf
[4] Absennya Perlindungan Saksi di Sri Lanka: AS-143-2007, AS-147-2007
[5] Mebusuk hingga ke intinya: Pembunuhan tanpa tujuan, penghilangan dan penyiksaan di Filipina URL: http://www.article2.org/mainfile.php/0601/267/
[6] Peraturan Perlindungan Saksi Hong Kong URL: http://www.hklii.org/hk/legis/en/ord/564/
[7] Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong- Independent Commission against Corruption (ICAC) URL: http://www.icac.org.hk/eng/main/index.html
AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi mengenai isu-isu HAM di Asia. Grup yang berlokasi di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.

Tidak ada komentar: